sumedangekspres – Belakangan ini, media sosial diramaikan dengan kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap seorang istri yang sedang hamil enam bulan.
Kejadian tersebut mencuat setelah korban melarikan diri dari rumah tanpa membawa apa pun dalam kondisi hamil yang rentan.
Ketika kasus ini mencapai pihak kepolisian, kejanggalan muncul saat korban justru menginginkan pencabutan laporan KDRT dengan alasan bahwa ia masih mencintai pelaku.
Baca Juga:Permintaan Maaf dan Tindakan Tanggap PT Kereta Api Indonesia Pasca Kecelakaan Kereta Api di BandungPT KAI Daop 8 Surabaya Alihkan Jalur Operasi KA Bandung melalui Purwokerto Pasca-Kecelakaan di Stasiun Haurpugur – Stasiun Cicalengka
Sikap ini memicu kemarahan warganet, yang mungkin sulit dipahami mengingat tingkat kekerasan yang dilaporkan.
Dalam konteks ini, data yang dikutip dari Sartika dan Amalia (2014) pada tahun 2014 menunjukkan bahwa 73,3 persen istri yang mengalami KDRT lebih memilih untuk mempertahankan rumah tangganya dan memberikan maaf kepada suaminya.
Temuan ini menimbulkan pertanyaan, mengapa begitu banyak korban KDRT memilih untuk tetap berada dalam lingkaran kekerasan?
Menganalisis data dari tahun-tahun sebelumnya, kasus serupa nampaknya sudah terjadi secara berulang.
Dalam teori psikologi yang diusulkan oleh Lenore E. Walker (1979), seorang psikolog terkenal di Amerika, kekerasan dalam rumah tangga memiliki empat fase.
Fase pertama adalah ketegangan situasi di antara pasangan, yang kemudian berkembang menjadi kekerasan fisik dan emosional pada fase-fase berikutnya.
Menurut Saraswati (2006), pada fase pertama, kekerasan dimulai dengan intensitas kecil, seperti kata-kata kasar atau sikap merendahkan.
Baca Juga:Mengenal Seismograf yang Dipasang oleh ITB Pascagempa Sumedang dan Perbedaannya dengan SeismometerHuman Error Merupakan Penyebab Paling Umum Kecelakaan Kereta Api: Benarkah? Simak Penjelasannya!
Di fase kedua, kekerasan semakin memburuk, mencakup tindakan fisik seperti memukul, menampar, bahkan menggunakan senjata.
Siklus kekerasan ini, seperti diungkapkan oleh Puspita Dewi dan Hartini (2017), bagaikan lingkaran setan yang tidak memiliki ujung.
Dalam kebanyakan kasus, korban cenderung memilih untuk diam, mungkin karena merasa malu atau bingung dalam menghadapi situasi sulit.
Sikap ini membuat mereka mengisolasi diri dan menghindari interaksi dengan orang lain.
Psikolog juga menekankan bahwa korban seringkali merasa tidak berdaya, melihat pasangan sebagai figur yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang tak terbantahkan.
Ahli psikologi menanggapi bahwa semakin lama seseorang berada dalam situasi kekerasan, semakin sulit bagi mereka untuk pulih dari perasaan ketidakberdayaan.
Korban KDRT juga sering mengalami penurunan harga diri dan merasa bahwa citra diri mereka semakin terpuruk, terutama ketika mereka mulai mempercayai makian buruk dan perilaku merendahkan dari pasangan.