Pandangan Hasan ini kemudian mengundang perdebatan dan kritik keras dari kaum Islam tradisionalis. Kalangan tradisionalis ini cenderung mempertahankan pemikiran dan praktek keagamaan yang mapan, yang sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat Islam di Indonesia.
Pepen Irpan Fauzan dalam tulisannya ‘Persatuan Islam dan Permufakatan Islam’ (2016) mengatakan kiprah Ahmad Hasan dalam Jam’iyyah Persis membuat pelbagai “perubahan” besar pada organisasi.
Perubahan pertama, karakter organisasi Persis tampil menjadi “galak”. Kedua, kaderisasi. Program inisiasi ideologi reformisme lebih intensif- massif, karena Hasan berhasil mengkader murid-muridnya. Ketiga, daya-pengaruh (influency). Dengan tampilnya Hasan beserta murid-muridnya dengan “ketajaman pena”.
Baca Juga:Alasan David da Silva Mogok Latihan di Persib TerungkapHarvey Moeis Ditahan karena Korupsi Rp270 T, Pesan Bijak dari Ahok untuk Sandra Dewi
Pemikiran tokoh-tokoh Persis, khususnya A Hasan, kala itu berkembang luas berkat dukungan media yang diterbitkannya. Pada 1929-1933, misalnya, Persis menerbitkan majalah Pembela Islam, yang tersebar sampai Singapura, Malaysia, dan Thailand Selatan. Persis juga menerbitkan majalah Al-Fatawa (1931-1935).
Selain A Hasan, tokoh Persis legendaris Persis lainnya adalah KH E Abdurrahman (1912-1983). Abdurrahman adalah murid A Hasan. Perkembangan intensif kaderisasi Jam’iyyah secara khusus dimulai pada era kepemimpinannya tersebut.
Sebagai Ketua Umum Persis periode 1963 1983, E Abdurrahman menginginkan Jam’iyyah puritan ini kembali ke khitah bergerak di dunia pendidikan dan dakwah.
Dalam pidato pembukaan pada Mu’akhat Persis 16 Januari 1981 yang diberi judul “Kita Sekalian Sebagai Pelengkap”, ia tak ingin Persis ikut terjun langsung dalam kegiatan politik. Sebab, tugas Persis adalah mempersiapkan “agama” bagi bangsa ini, yaitu dengan berdakwah dan mengajar.