sumedangekspres – Perkembangan Gamelan Degung Dari Tahun 1912 Sampai Sekarang
Sejarah perkembangan gamelan degung sungguh menarik dan mencakup berbagai peristiwa yang memengaruhi evolusinya dari waktu ke waktu. Awalnya, gamelan degung hanya dimainkan secara instrumental, tanpa adanya vokal dalam penyajiannya. Hal ini diawasi oleh Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V pada masa kepemimpinannya (1912—1920), yang melarang penggunaan vokal dalam gamelan degung karena dianggap mengurangi keseriusan suasana.
Namun, ketika Bupati Wiranatakusumah pindah ke Bandung pada tahun 1920, perangkat gamelan degung dari Cianjur juga ikut dipindahkan bersama nayaganya, yang dipimpin oleh seorang bernama Idi. Di Bandung, gamelan degung yang dikenal dengan nama Pamagersari menjadi bagian dari hiasan musik di Pendopo Bandung dengan lagu-lagunya yang khas.
Minat terhadap keindahan gamelan degung semakin meluas, terutama ketika seorang saudagar di Pasar Baru Bandung, Kiagus H. Anang Thayib, tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang dia selenggarakan.
Baca Juga:Sekilas Sejarah Gamelan Degung yang Sering Dimainkan Oleh Seniman SeniwatiAsal Usul Alat Musik Gendang yang Berasal Dari Bahasa Jawa
Permintaan ini disetujui oleh bupati setempat, membuka jalan bagi penggunaan gamelan degung dalam perhelatan umum. Permintaan semacam ini semakin bertambah, sehingga bupati memerintahkan pembuatan gamelan degung baru yang dinamakan Purbasasaka, yang dipimpin oleh Oyo.
Perkembangan gamelan degung tidak berhenti di situ. Alat musik dalam gamelan degung juga mengalami penambahan sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal. Penambahan waditra seperti kendang dan suling dilakukan oleh Idi, memperkaya tata bunyi gamelan degung.
Gamelan degung kemudian digunakan dalam berbagai acara budaya dan seni, termasuk dalam pertunjukan opera Sunda kolosal “Loetoeng Kasaroeng” pada tahun 1921, serta sebagai illustrasi dalam film cerita pertama di Indonesia yang berjudul “Loetoeng Kasaroeng” pada tahun 1926.
Meskipun mengalami periode stagnasi setelah kematian Idi pada tahun 1945, gamelan degung kembali mendapatkan perhatian serius pada tahun 1954 oleh sekelompok seniman yang dipimpin oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Mereka tidak hanya menyajikan lagu-lagu yang sudah ada, tetapi juga menciptakan lagu-lagu baru dengan nuansa tradisional degung. Pada tahun 1956, gamelan degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung, meraih sambutan positif dari masyarakat.