sumedangekspres, Tindakan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dalam upaya menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bukan sekadar tindakan politik kontroversial, hal ini juga dapat dimaknai sebagai kejahatan luar biasa terhadap rakyat dan konstitusi. Tindakan ini melanggar cita-cita luhur pembentukan MK sebagai lembaga yang memperkuat landasan konstitusionalisme dan melakukan judicial review atau pengujian undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945.
Secara sistematis, cita-cita pembentukan Mahkamah Konstitusi telah dicederai oleh tindakan-tindakan politik yang mengabaikan kewenangan lembaga ini. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi dalam struktur trias politica, yang seharusnya menjadi lembaga peradilan yang kuat, kini menghadapi krisis eksistensi. Sayangnya, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang seharusnya bersifat final dan mengikat, kini tidak lagi dihormati oleh lembaga-lembaga negara lainnya, terutama DPR-RI.
Koalisi yang ada di tubuh pemerintah diduga tengah menajamkan hegemoni kekuasaannya menjelang Pilkada Serentak 2024 dengan mengabaikan dua putusan penting Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas partai politik untuk mengajukan calon kepala daerah dan persyaratan usia calon kepala daerah dalam UU Pilkada. Upaya ini diduga bertujuan memonopoli Pilkada di beberapa daerah strategis, khususnya Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, dengan sasaran utama untuk memperlancar kemenangan politik lewat praktik kotak kosong dan memuluskan jalan bagi putra bungsu sang presiden.
Baca Juga:Izin Operasional Belum Terbit, Rumah Sakit Berlian Kasih Cimalaka TerbengkalaiDesa Mulyasari Terus Galakkan Penarikan PBB
Pemerintah dan DPR RI telah menunjukkan perilaku yang sangat destruktif dengan merevisi sejumlah pasal dalam UU Pilkada dalam waktu yang sangat singkat, tanpa memperhatikan batasan moral dan konstitusional. Dua putusan MK terkini, yakni Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang persyaratan usia calon kepala daerah, seharusnya memberikan angin segar bagi demokrasi elektoral di Indonesia. Namun, pasca terbitnya putusan tersebut, DPR RI melalui Badan Legislasi membentuk Panitia Kerja (Panja) UU Pilkada yang dengan cepat membahas revisi UU Pilkada pada 21 Agustus 2024, untuk menghadang dan mengaaburkan isi dari kedua putusan tersebut.
Lembaga legislatif yang seharusnya berfungsi membuat regulasi dan mengawasi kekuasaan justru terjerumus dalam nafsu kekuasaan yang mengamputasi hukum dan kewarasan publik. DPR-RI tidak lagi berfungsi sebagai wakil rakyat yang sejati, tetapi justru menjadi kaki tangan rezim otokratik untuk melanggengkan kekuasaan melalui manipulasi regulasi. Pemerintah Pusat dan DPR-RI seharusnya menjadi panutan dalam menegakkan hukum dan demokrasi, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, ditengarai terjadi praktik ‘cawe-cawe’ dalam penafsiran Putusan MK dan membawa republik ini ke jurang otoritarianisme.