Kekeliruan DPR-RI dalam menggunakan putusan Mahkamah Agung (MA) sebagai dasar pembatalan putusan MK menunjukkan adanya kekeliruan mendasar dalam pemahaman mereka terhadap hierarki hukum di Indonesia. Berdasarkan teori hukum dalam buku General Theory of Law and State, hierarki hukum mengatur bahwa setiap norma hukum dalam suatu negara harus tunduk pada norma tertinggi, yaitu konstitusi. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 merupakan norma tertinggi, dan putusan MK yang menguji undang-undang terhadap konstitusi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan putusan MA yang hanya menguji undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang.
Pelanggaran ini dapat dipahami melalui kacamata konsep “otoritarianisme prosedural”, di mana demokrasi dijalankan secara formal, tetapi hakikat dan substansinya terkikis. Demokrasi yang hanya berjalan secara prosedural, tanpa substansi partisipasi politik dan perlindungan hak asasi manusia, berpotensi besar terjebak dalam otoritarianisme terselubung. Dalam skenario ini, hukum tidak lagi digunakan sebagai instrumen untuk melindungi rakyat dan menjamin keadilan, tetapi dimanipulasi untuk melayani kepentingan politik segelintir elit penguasa.
Fakta bahwa DPR dan Pemerintah Pusat secara aktif berupaya merevisi undang-undang dalam waktu singkat menunjukkan adanya kecenderungan untuk manipulasi sistem hukum demi kepentingan politik mereka. Misalnya, DPR Indonesia bergerak cepat membentuk Undang-Undang Panitia Kerja Pilkada pada 21 Agustus 2024, hanya berselang satu hari setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024. Tindakan ini mencerminkan bagaimana undang-undang digunakan sebagai alat politik, bukan sebagai dasar keadilan dan tata pemerintahan yang baik.
Baca Juga:Izin Operasional Belum Terbit, Rumah Sakit Berlian Kasih Cimalaka TerbengkalaiDesa Mulyasari Terus Galakkan Penarikan PBB
Krisis konstitusional yang tengah melanda Indonesia saat ini merupakan ancaman serius terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi dan supremasi hukum yang menjadi landasan negara ini. Tindakan DPR RI yang terang-terangan berupaya menganulir putusan Mahkamah Konstitusi bukan saja merupakan pelanggaran supremasi hukum, tetapi juga merupakan kejahatan luar biasa terhadap rakyat dan konstitusi. DPR RI yang seharusnya berfungsi sebagai pembuat undang-undang yang adil dan pengawas kekuasaan, kini justru menjadi aktor utama yang melemahkan hukum dan demokrasi di Indonesia.
Partisipasi seluruh elemen masyarakat menjadi sangat penting, baik akademisi, praktisi hukum, maupun masyarakat sipil untuk bersatu padu dalam menegakkan integritas konstitusi dan menolak segala bentuk tirani legislatif yang mengancam kebebasan hukum dan demokrasi di Indonesia. Jika dibiarkan, tindakan DPR RI akan menjadi preseden buruk yang akan menjadi pemicu berbagai bentuk pembangkangan hukum di masa mendatang, yang pada akhirnya akan menghancurkan fondasi demokrasi di republik ini yang telah dibangun dengan susah payah sejak reformasi.