sumedangekspres, JATINANGOR – Isu penahanan ijazah akibat tunggakan biaya pendidikan kembali mencuat, kali ini mendapatkan sorotan dari Anggota Komisi 5 DPRD Provinsi Jawa Barat, Maulana Yusuf Erwinsyah. Ia menilai kebijakan percepatan penyerahan ijazah yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan (Disdik) Jabar bisa menimbulkan konsekuensi yang lebih luas dari yang terlihat.
“Kebijakan ini sepintas tampak berpihak pada masyarakat kecil, tetapi jika kita kaji lebih dalam, ada potensi dampak negatif yang bisa muncul,” ungkap Maulana pada Senin (3/2). Menurutnya, langkah ini bisa saja lahir dari semangat populisme tanpa mempertimbangkan aspek struktural yang lebih kompleks.
Seperti diketahui, Disdik Jabar telah mengeluarkan surat edaran yang menginstruksikan sekolah untuk segera menyerahkan ijazah kepada para siswa, termasuk bagi mereka yang memiliki tunggakan biaya pendidikan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk membantu orangtua yang kesulitan membayar, tetapi Maulana menilai pendekatan tersebut terlalu simplistis.
Dampak bagi Sekolah Swasta dan Keseimbangan Sistem
Baca Juga:Diserang Hama, Puluhan Hektar Sawah di Ujungjaya Gagal Panen Harga Sembako di Pasar Parakanmuncang Kian Meroket
Salah satu kekhawatiran terbesar Maulana adalah bagaimana kebijakan ini berpotensi merugikan sekolah-sekolah swasta yang mengandalkan iuran siswa sebagai sumber utama pendanaan mereka. “Jika kewajiban finansial dihapus begitu saja tanpa solusi jangka panjang, bagaimana sekolah-sekolah ini bisa bertahan?” tanyanya.
Ia menekankan bahwa sekolah swasta tidak mendapatkan subsidi sebesar sekolah negeri, sehingga mereka sangat bergantung pada biaya operasional yang diperoleh dari para siswa. Dengan menghilangkan kewajiban pembayaran, ada kemungkinan banyak sekolah akan mengalami kesulitan keuangan, yang pada akhirnya bisa berdampak pada kualitas pendidikan itu sendiri.
“Pada akhirnya, yang dirugikan adalah siswa. Jika sekolah kehilangan pendapatan utama mereka, fasilitas akan menurun, kesejahteraan guru terganggu, dan kualitas pembelajaran pun terancam,” ujarnya.
Masalah Akurasi Data dan Keberlanjutan Kebijakan
Maulana juga menyoroti kelemahan dalam kebijakan ini, yaitu tidak adanya mekanisme yang jelas untuk memilah antara keluarga yang benar-benar tidak mampu dengan mereka yang sebenarnya mampu tetapi abai terhadap kewajibannya.
“Apakah kita bisa memastikan bahwa semua yang menunggak benar-benar tidak mampu? Atau ada juga yang sebenarnya bisa membayar tetapi memilih untuk tidak melakukannya?” kritiknya. Ia menilai bahwa pemerintah seharusnya memiliki data yang lebih akurat sebelum mengambil kebijakan semacam ini, agar bantuan bisa benar-benar tepat sasaran.