Jadi, ketika ada orang yang memprotes penggunaan teknologi seperti ChatGPT atau AI image generator untuk membuat gambar bergaya Ghibli, sesungguhnya mereka bukan sedang menolak efisiensi teknologi atau kemampuannya dalam menghasilkan gambar. Yang dipersoalkan adalah etika serta orisinalitas dari hasil karya yang dihasilkan oleh AI tersebut.
Sebenarnya, jika kita berbicara dari sisi hukum, penggunaan AI untuk meniru gaya gambar seperti milik Studio Ghibli ini masih berada dalam wilayah abu-abu. Hal ini karena gaya menggambar secara umum belum tentu secara eksplisit dilindungi oleh hukum.
Yang secara jelas dilindungi biasanya adalah elemen-elemen spesifik seperti karakter—misalnya Totoro, Chihiro, atau Howl. Namun, jika hasil karya AI benar-benar identik atau sangat mirip dengan karya asli, tetap ada kemungkinan terkena pelanggaran hak cipta, tergantung pada regulasi hukum di masing-masing negara.
Baca Juga:Hati-Hati! Aplikasi Risetcar Modus Bisnis Rental Berpotensi Investasi BodongPerbedaan Kemiskinan yang Dibuat Elit Global dan yang Takdir, 5 Fakta Ini Akan Menjawab Semuanya
Masalah utamanya adalah AI mempelajari gaya dari karya-karya para seniman tanpa izin. Jadi, ketika hasilnya digunakan lalu diklaim sebagai karya orisinal pribadi, itu bisa dianggap menyesatkan atau misleading. Meskipun yang bekerja adalah sistem AI, tanggung jawab tetap berada pada pengguna teknologi tersebut.
Secara etika, semuanya sangat tergantung pada tujuan penggunaannya. Jika hanya digunakan untuk bersenang-senang, sekadar eksperimen pribadi, atau iseng bersama teman-teman karena penasaran, menurut saya itu tidak terlalu menjadi masalah. Kita hanya memanfaatkan teknologi yang tersedia tanpa niat mencuri atau mengambil keuntungan.
Namun, situasinya akan berbeda ketika digunakan untuk tujuan komersial atau keuntungan pribadi. Di sinilah letak pelanggaran etikanya. Studio Ghibli memiliki gaya visual yang khas, yang telah menjadi identitas visual mereka. Selain itu, karya mereka bukan sekadar estetika visual, tetapi juga mengandung filosofi, emosi, dan pesan mendalam dari sang kreator. Ketika proses tersebut diotomatisasi oleh AI, hasilnya sering kali terasa hampa—hanya visual tanpa jiwa.
Lalu, apakah kita harus kembali ke masa di mana semua karya dibuat secara manual? Jika ingin menangkap kedalaman emosi dan makna filosofis, tentu itu ideal. Namun, di era modern seperti sekarang, akan terasa janggal jika kita sama sekali tidak memanfaatkan teknologi dalam proses kreatif. Yang dikhawatirkan justru bukan hanya kehilangan esensi, tetapi juga bisa tertinggal oleh studio-studio lain yang lebih adaptif terhadap kemajuan teknologi.