Penulis: Aip Saiful Mubarrok
Anatomi Konflik di Ruang Publik: Membaca Esensi di Balik DemonstrasiBeberapa hari terakhir, ruang publik kita dipenuhi oleh riuh suara dan visual dari demonstrasi besarbesaran.
Di tengah hiruk pikuk spanduk dan orasi yang saling bersahutan, mudah bagi kita untuk terjebak pada narasi permukaan: siapa melawan siapa, apa tuntutannya, dan siapa yang diuntungkan.Namun, untuk memahami peristiwa ini secara jernih, kita perlu melakukan investigasi ke jantungpersoalan—ke esensi konflik itu sendiri.
Konflik Sebagai Energi Sosial
Secara ilmiah, konflik bukanlah sebuah anomali, melainkan energi sosial yang netral. Ia lahir dari adanyategangan atau kesenjangan antara das sollen (apa yang seharusnya terjadi/harapan) dengan das sein(apa yang senyatanya terjadi/realitas).
Baca Juga:Aksi Demo Marak di Berbagai Daerah, Abuya Muhyiddin Almanafi Curahkan Doa dan Air Mata untuk Ibu PertiwiAksi Demo Marak di Berbagai Daerah, Abuya Muhyiddin Almanafi Curahkan Doa dan Air Mata untuk Ibu Pertiwi
Demonstrasi bukanlah konfliknya, melainkan pelepasan energidari tegangan tersebut. Semakin besar kesenjangan yang dirasakan oleh sebuah kelompok dalammasyarakat—baik soal keadilan, ekonomi, maupun kebijakan—semakin besar pula energi potensial yangterakumulasi.
Melihat demonstrasi hanya sebagai “masalah” adalah seperti melihat demam hanyasebagai penyakit, padahal ia adalah gejala dari infeksi yang lebih dalam.Lensa Pertahanan, Kebangsaan, dan KemanusiaanUntuk membedah fenomena ini secara strategis, kita perlu menggunakan tiga lensa yang berbedanamun saling berkaitan:
1. Lensa Pertahanan dan Keamanan: Dari sudut pandang negara, agregasi massa dalam jumlah besaradalah sebuah variabel yang menguji resiliensi sistem. Aparatus keamanan tidak membaca narasituntutan, melainkan mengkalkulasi potensi eskalasi dan dampaknya terhadap stabilitas nasional. Tugasutamanya adalah memastikan energi konflik tersebut tidak meluap menjadi kekacauan yang merusakaset vital negara dan tatanan sosial. Ini adalah perspektif yang logis dan niscaya dalam kerangkamenjaga kedaulatan.
2. Lensa Nilai Kebangsaan: Demonstrasi adalah ujian paling nyata bagi kohesi sosial kita. Di sinilah nilainilai kebangsaan seperti Bhinneka Tunggal Ika diuji. Apakah ruang publik mampu menampungperbedaan pendapat yang tajam tanpa merobek tenun persatuan? Atau sebaliknya, apakah perbedaanitu justru dimanfaatkan untuk menegaskan perpecahan? Di titik inilah pertarungan sesungguhnyaterjadi: antara hak demokrasi untuk bersuara dengan tanggung jawab menjaga rumah bersamabernama Indonesia.
3. Lensa Nilai Kemanusiaan: Inilah lensa yang paling sering terlupakan. Di balik angka statistik massa dananalisis geopolitik, ada ribuan individu dengan kisah, harapan, dan keresahannya masing-masing. Esensidari banyak konflik sosial bukanlah perebutan kekuasaan, melainkan perjuangan untuk mendapatkankembali dignitas atau martabat kemanusiaan. Rasa tidak didengar, rasa diperlakukan tidak adil, dan rasamasa depannya terancam adalah bahan bakar utama dari energi konflik. Mengabaikan dimensi iniberarti kita hanya melihat keramaian, bukan manusianya.