Romantisisme dalam Filsafat: Emosi vs Rasionalitas

Romantisisme dalam Filsafat: Emosi vs Rasionalitas
Romantisisme dalam Filsafat: Emosi vs Rasionalitas.(Ilustrasi/Pinterest).
0 Komentar

SUMEDANG EKPRES – Ingin tahu mengenai romantisisme dalam filsafat yang terlibat emosi dan rasionalitas. Penasaran? Sini cari tau..

Romantisisme bukanlah sekadar gerakan seni atau sastra. Ia adalah sebuah revolusi pemikiran yang mendalam, sebuah tanggapan filosofis terhadap dominasi rasionalitas Abad Pencerahan.

Jika Pencerahan mengangkat akal dan sains sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran, Romantisisme justru menempatkan emosi, intuisi, dan imajinasi sebagai sumber pengetahuan yang setara jika tidak lebih unggul.

Baca Juga:Romantisisme vs Realisme: Dua Aliran Besar dalam Sejarah SeniKebangkitan Romantisisme dalam Tren Literasi dan Musik Masa Kini

Filsafat Romantisisme adalah sebuah pemberontakan terhadap keteraturan, logika yang kaku, dan objektivitas.

Para pemikir Romantisisme meyakini bahwa ada hal-hal di alam semesta yang tidak bisa dipahami hanya dengan akal.

Mereka mencari pemahaman melalui pengalaman batin, keindahan alam, dan kreativitas artistik

Perbedaaan

Filsafat pencerahanFilsafat Romantisisme

Akal, nalar, dan sains

Manusia sebagai makhluk rasional

Mencapai kemajuan dan kesempurnaan melalui pengetahuan

Emosi, intuisi, dan imajinasi

Manusia sebagai individu yang kompleks dengan emosi dan spiritualitas

Mencapai keaslian diri dan kebebasan berekspresi

Tokoh dan Gagasan KunciJean-Jacques Rousseau (1712-1778): Meskipun hidup di masa Pencerahan, gagasan Rousseau sering dianggap sebagai fondasi Romantisisme. Ia berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik dan korupsi berasal dari masyarakat. Rousseau menganjurkan kembali ke alam, di mana emosi dan insting bisa berkembang secara alami.

Pemikirannya tentang “manusia mulia yang biadab” (noble savage) menempatkan intuisi dan perasaan di atas aturan sosial.

Immanuel Kant (1724-1804): Meskipun seorang filsuf Pencerahan, Kant membuka jalan bagi Romantisisme dengan gagasannya tentang “sublime”. Ia membedakan antara keindahan (beauty) yang bisa dipahami secara rasional, dan sublime perasaan campur aduk antara kekaguman dan ketakutan saat dihadapkan pada kekuatan alam yang tak terbatas, seperti badai atau pegunungan. Konsep ini memberikan ruang bagi pengalaman emosional yang melampaui pemahaman rasional.

Johann Gottlieb Fichte (1762-1814): Fichte mengembangkan gagasan Romantisisme tentang ego atau diri. Ia berpendapat bahwa realitas tidak sepenuhnya objektif, melainkan sebagian besar diciptakan oleh aktivitas mental dan subjektivitas individu. Pandangan ini menempatkan pengalaman batin sebagai pusat realitas, memicu gagasan tentang pentingnya kebebasan individu dan ekspresi diri.

0 Komentar