1 Oktober

Pojokan
Pojokan
0 Komentar

DALAM dialektika sejarah, selalu terjadi pertentangan antar pengikut isme. Pertentangan yang kadang menumpahkan nyawa. Sebab ketika ideologi menjadi keyakinan dan jalan, ditangan diktator, dia butuh pemuja fanatik serta harus diperjuangkan. Program utamanya adalah penyingkiran yang tak memuja. Fragment penyingkiran yang tak mendewakan ideologi rezim, itulah masa kelam. Bahkan biadab! Seperti kurun tahun 1965 hingga lebih.

Masa Kelam! Selalu saja terjadi dalam sejarah semua bangsa. Kelam yang berisi kebiadaban atas nama kekuasaan dan propaganda penguasa. Seolah sebuah babak yang mesti ada dalam setiap sejarah perebutan kekuasaan-dominasi. Dimana perebutan panggung harus diurapi dengan banjir darah dan berjuta nyawa harus dilenyapkan. Hanya cukup dengan satu alasan yang sengaja di propagandakan. Isu untuk menguasai wacana di ruang publik. Sebagai pembenaran atas lakunya.

Sejatinya ideologi adalah nilai. Menjadi dasar negara yang menjunjung tinggi setinggi-tingginya bahkan hingga menyundul arasy; nilai ketuhanan, musyawarah, keadilan, kesejahteraan, kemanusiaan dan keadaban. Tapi di awal berkembangnya nilai itu, sang sejarah mentakmirkan dengan nyawa-nyawa yang belum tentu bersalah, untuk dikorbankan. Konon 2 juta nyawa melayang demi sebuah rezim tumbuh. Juga para eksil dan tahanan politik (tapol) Pulau Buru menjadi penghias kuasa rezim. Bahkan sang Proklamator pun disepikan. Bukan nilainya yang salah, tapi hasrat kekuasaan yang membutakan nurani.

Baca Juga:BersuaraUsai Kasus Keracunan Massal Siswa, Bupati Dony Akan Panggil Kepala MBG dan Ahli Gizi

2 juta dan tujuh (7) orang itu adalah korban. Menjadi bagian dari sejarah bangsa. Tapi yang tercatat dan diakui hanya sedikit. Bahkan mereka tak diperingati, tak diakui. Tak pernah ada nama, dari mana, anak-bapak-saudara-suami-istri siapa, oleh siapa dan di mana. Seolah mereka adalah remah-remah hidup yang harus mati karena roda sejarah. Mereka hanya diingat oleh penerusnya yang juga menggenggam trauma, memilih menerima dan diam. Sebab penerus pun di labeli, dibatasi pun tak berkutik.

1 Oktober adalah titi mangsa penanda dan pengingat dari sebuah peristiwa. Namun titi mangsa itu ditafsiri sebagai cerita kehebatan hanya untuk sang rezim. Dan kebiadaban sang lawan. Padahal titi mangsa itu, menghimpun jutaan cerita duka, luka, pedih dan ketakutan nan tak terperi dari sang korban dalam kurun waktu.

0 Komentar