SUMEDANGEKSPRES – Tak ada yang tahu siapa yang memulai, namun selama puluhan tahun warga Pangaroan merayakan Idul Adha dengan cara yang tak lumrah: memukuli pohon buah-buahan dengan sapu lidi. Sebuah tradisi yang bertahan lebih lama daripada cerita tentang asal-usulnya sendiri.
Ketika Idul Adha tiba, warga di Dusun Pangaroan, Desa Cipanas, Kecamatan Tanjungkerta, tak cuma suara takbir dan hiruk pikuk penyembelihan hewan kurban yang mengisi hari. Ada juga ritual kecil yang dulu begitu akrab: memukuli pohon buah-buahan dengan sapu lidi.
Tradisi sederhana itu bukan sekadar kebiasaan, melainkan bagian dari sejarah sosial warga yang kini hampir hilang ditelan zaman. Tak ada catatan pasti tentang sejak kapan tradisi ini dimulai. Warga hanya menyebutnya sebagai “kebiasaan orang dulu” sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi tanpa pernah ditanyakan asal-usulnya.
Baca Juga:Basarnas Bandung Kirim Tujuh Rescuer ke Sumatera untuk Perkuat Operasi SAR Banjir & LongsorBanjir Rendam 2 SD di Sumedang: Pemerintah Tinjau Kerusakan dan Siapkan Penanganan Darurat
Di Pangaroan, cerita tentang tradisi ini hidup melalui ingatan para sesepuh, bukan melalui manuskrip atau petatah-petitih resmi. “Setahu saya, dari kecil sudah begitu. Orang tua saya juga melakukannya, bahkan kakek-nenek saya,” kenang Ibu Suhaedah (71). “Tidak pernah diceritakan awalnya bagaimana. Ya pokoknya habis Salat Idul Adha, ambil sapu lidi, terus pukul pohon.”
Dalam banyak tradisi agraris Nusantara, tindakan simbolik kepada tanaman: menyiram, menabur bunga, hingga memberi ‘teguran’ ringan diyakini mampu merangsang pertumbuhan. Di Pangaroan, tradisi memukul pohon buah setelah Salat Idul Adha tampaknya lahir dari pemahaman lama tentang tumbuhan yang dianalogikan dengan makhluk hidup yang perlu diingatkan atau “dibangunkan”.
Pada dekade 1980–1990-an, suasana ini menjadi bagian wajib dari Hari Raya Kurban di Pangaroan. Banyak warga menyebutnya momen yang sama pentingnya dengan saling berkunjung atau melihat proses pemotongan hewan kurban.
Selepas salat, warga berkerumun sebentar, lalu pulang sambil bercengkerama. Setibanya di rumah, tangan mereka langsung mengambil sapu lidi. Perkarangan kampung yang dipenuhi pohon mangga, rambutan, jambu, atau pepaya menjadi “sasaran” ritual itu.
Tidak dilakukan dengan kekerasan, ketukan sapu lidi justru lebih mirip sentuhan ringan. Anak-anak ikut menirukan orang dewasa: memukul batang pohon sembari tertawa, seolah Idul Adha menghadirkan permainan tambahan khas kampung.
