Dari Takbir ke Ketukan Lidi: Sebuah Tradisi yang Memudar di Pangaroan

Dari Takbir ke Ketukan Lidi: Sebuah Tradisi yang Memudar di Pangaroan
Warga sedang memukuli pohon mangga dengan sapu lidi.(istimewa)
0 Komentar

Selain kepercayaan bahwa pohon akan cepat berbuah, tradisi itu juga menjadi semacam simbol harapan: bahwa setelah menyelesaikan ibadah, akan datang rezeki baru dari hasil bumi.

Memasuki tahun 2000-an, terutama sejak 2020-an, tradisi ini perlahan memudar. Modernisasi pola pikir, perubahan gaya hidup, hingga hilangnya generasi yang dulu memegang erat kebiasaan menjadikan tradisi ini semakin sepi. Warga muda tak lagi memandang sapu lidi sebagai bagian dari ritual Idul Adha, melainkan sekadar alat rumah tangga.

“Sekarang sudah jarang sekali. Hampir tidak ada yang melakukan. Paling ibu-ibu yang sudah sepuh saja yang masih ingat,” ujar Suhaedah.

Baca Juga:Basarnas Bandung Kirim Tujuh Rescuer ke Sumatera untuk Perkuat Operasi SAR Banjir & LongsorBanjir Rendam 2 SD di Sumedang: Pemerintah Tinjau Kerusakan dan Siapkan Penanganan Darurat

Perubahan lanskap sosial desa turut berperan. Banyak warga bekerja di luar kota, anak muda menghabiskan waktu di sekolah atau gawai, sementara halaman dan pekarangan yang dulu penuh pohon kini mulai tergantikan bangunan. Tradisi yang bergantung pada ruang dan suasana pedesaan perlahan kehilangan panggung.

Hingga kini, tidak ada penelitian ilmiah yang secara spesifik menyinggung kebiasaan memukul pohon dengan sapu lidi pada Hari Raya Idul Adha. Meski demikian, dalam konteks antropologi, tradisi seperti ini bukan hal asing. Banyak kebudayaan lokal yang menggunakan simbol fisik untuk memicu pertumbuhan atau kesuburan tanaman.

Namun bagi warga Pangaroan, persoalannya bukan pada benar-tidaknya mitos. Tradisi tersebut lebih merupakan ekspresi kultural bagaimana masyarakat menautkan perayaan keagamaan dengan lingkungan di sekitar mereka.

Kini, tradisi itu lebih sering muncul sebagai cerita. Dikisahkan ulang oleh warga lanjut usia, diceritakan pada anak-cucu, atau dibicarakan ulang saat hari raya tiba.

Di sebuah desa kecil seperti Pangaroan, jejak tradisi ini menjadi bagian dari memori kolektif: tentang bagaimana masyarakat pernah merayakan Idul Adha dengan cara yang unik dan penuh nilai simbolik. Meski aktivitasnya nyaris hilang, maknanya tetap hidup menjadi pengingat bahwa waktu pernah menghadirkan hubungan yang begitu intim antara manusia, kepercayaan, dan pohon-pohon yang mereka rawat.

Dalam lanskap budaya yang terus berubah, tradisi sapu lidi di Pangaroan berdiri sebagai potongan sejarah lokal yang mungkin sederhana, tetapi mengandung kekayaan makna. Ia bukan sekadar tentang memukul pohon; ia tentang bagaimana sebuah kampung merawat harapan, menyerap nilai leluhur, dan membingkai Idul Adha dengan cara yang tak dimiliki tempat lain. (red)

0 Komentar