Karena mereka sangat kuat dan sakti, pertarungan itu membuat oleng kapal. Penumpang pun histeris. Juru mudi tak mau dilengserkan. Nahkoda merasa berhak untuk mengambil alih. Tetua sedih, mau merujukkan keduanya. Tapi tak banyak membuahkan hasil. Kapal pun oleng, sementara badai akan datang. Intrik bertebaran di kalangan crew. Membangun opini kepada penumpang “posisiku” yang paling benar.
Namun opera itu bukan kisah Achilles melawan Hector pada perang Troya. Keduanya dianggap pahlawan oleh masing-masing bangsanya. Juga bukan kisah Pangeran Dipenogoro melawan tiran Belanda. Atau Nelson Mandela melawan Apharteid. Atau kisah pahlawan dipelbagai belahan dunia melawan para tiran.
Ini kisah tentang satu biduk yang tak lagi sehaluan. Mungkin kisah tentang tak lagi sama pembagian laba. Semua membuka aib, semua terpanggang nafsu, gegara tak sama pendapatan. Lupa, kisruh yang disebar itu bisa membakar sejarah agung kapal besar yang dibangun dengan perjuangan, cinta, khidmah, keikhlasan, pengayom, penjaga warisan akhlak dan umat. Semua terjerat dibiduknya sendiri. Terjebak ranjau tali tambang syahbandar.
Baca Juga:Pasokan Air Baku ke Indramayu Terancam Dihentikan, Menhut SP3 PDAM Tirta KamuningReview PERSIB vs Borneo FC: Comeback Dramatis, Stadion GBLA Meledak Sorak
Tak sekali, kapal besar itu mendapat serangan. Dulu juru mudi, nahkoda dan para tetua kapal masih dalam satu barisan. Semua merujuk pada satu komando para masyayikh. Walau konflik itu diciptakan oleh aktor luar, menggunakan aktor internal. Dan kapal itu tetap utuh, kuat dan melaju kencang, melewati badai.
Namun sekarang, kisah perseteruan ini terpercik dari dalam, gegara tali tambang, juga lawatan juru mudi ke pulau terlarang. Ada perebutan kapal.
Opera itu -konflik awak kapal besar, megah, kebanggan dan legendaris, ditonton para kiai kampung dan nahdliyin di sudut musola. Pun warga dunia.
Para penonton, tak mengerti bagaimana akhir cerita opera itu. Mereka pun tak tahu siapa sutradara dan sponsor utama pagelaran terbesar dipenghujung tahun ini.
Di beranda musola bersama segelintir jamaah, kiai kampung hanya bisa mengelus dada dan menitikan air mata. Terbawa suasana malu dan sedih. Entah sampai kapan opera ini berakhir. Sambil berdoa merapal nasehat Hadrotusy Syekh K.H. Hasyim Asyari; “Masuklah (Nahdlatul Ulama – NU) dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu, dan dengan ikatan jiwa raga. Bukan untuk mencari hidup dan pekerjaan”
