LIPUTAN KHUSUS: Bencana yang Dibangun

Liputan Khusus Sumedang Ekspres
Liputan Khusus Sumedang Ekspres edisi Senin, 8 Desember 2025
0 Komentar

Hutan yang digunduli, tambang yang tak terkendali, dan lahan yang terus dialihfungsikan kini menempatkan Jawa Barat di ambang krisis ekologis terbesar dalam sejarahnya. Sementara industri terus merangsek masuk, pengawasan kian tumpul, dan bencana berdatangan tanpa jeda–membentuk potret provinsi yang perlahan kehilangan penyangga hidupnya sendiri.

DARURAT!

JAWA BARAT berada di persimpangan krisis ekologis. Kerusakan hutan, alih fungsi lahan yang tak terkendali, penambangan yang kian masif, serta lemahnya pengawasan membuat provinsi berpenduduk terbesar di Indonesia ini menghadapi ancaman bencana yang semakin nyata.

Data dari pemerintah, aktivis lingkungan, hingga pemetaan resmi kebencanaan menunjukkan satu garis merah: Jabar memasuki fase darurat lingkungan.

Baca Juga:Opera SabunPasokan Air Baku ke Indramayu Terancam Dihentikan, Menhut SP3 PDAM Tirta Kamuning

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengakui kondisi hutan di provinsinya sangat kritis. Menurutnya, hanya sekitar 20 persen kawasan hutan yang masih dapat dikategorikan utuh dan berfungsi sebagaimana mestinya. Sisanya, 80 persen, sudah rusak akibat berbagai tekanan.

“Hutan kita tidak semuanya masih hutan. Sebagian besar sudah rusak,” ujarnya.

Untuk mengatasi situasi tersebut, Pemprov Jabar menyiapkan program pemulihan hutan berbasis partisipasi warga. Nantinya, setiap satu hektare kawasan hutan akan dikelola dua orang warga yang bertugas menanam, memelihara, hingga memastikan pohon tumbuh kembali secara optimal. Program ini dilengkapi pemberian upah Rp50 ribu per hari, angka yang menurut gubernur lebih tinggi dari upah pekerjaan informal di sebagian wilayah.

Upaya penghijauan itu tidak semata menanam pohon kayu, tetapi juga tanaman produktif seperti nangka, pete, dan jengkol, yang diharapkan menjadi sumber ekonomi tambahan bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan. Pemprov menilai pendekatan ekologis dan ekonomis ini dapat mempercepat pemulihan sekaligus menyelesaikan masalah kesejahteraan warga sekitar hutan.

Di tengah kerusakan lingkungan, peran BP Cekungan Bandung kembali menjadi sorotan. Lembaga yang dibentuk melalui Pergub No 86 Tahun 2020 itu pada dasarnya masih aktif secara legal, namun dinilai belum memberikan dampak signifikan dalam menahan laju alih fungsi lahan di wilayah Bandung Raya.

Kepala Bappeda Jabar, Dedi Mulyadi, menegaskan bahwa BP Cekungan Bandung hanya memiliki fungsi koordinatif. Kewenangan inti, terutama terkait perizinan dan pengendalian tata ruang, tetap berada di kabupaten/kota atau melalui sistem pusat seperti OSS.

0 Komentar