Ini hanya keresahan rakyat kecil yang cinta pada bumi pertiwi. Yang cemas masa depan generasi mendatang, yang tak punya apa-apa untuk diwariskan. Kecuali kerusakan lingkungan dan moral. Kegundahan yang melahirkan semangat kesukarelaan untuk memperbaiki keadaan. Walau hanya lewat pelbagai upaya kecil dan sederhana. Bahkan mungkin tak berarti dalam konteks political citizenship.
Menjaga kegelisahan atas ketimpangan dan ketidakadilan adalah keharusan sejarah dan peradaban. Sebab tanpa kecemasan, kegelisahan dan kekhawatiran, moral citizenship tak akan tumbuh subur berkembang. Ditengah rapuhnya moral dan etika penyelenggara negara dan rakyat.
Menutup tahun ini, bisa jadi tanpa kemeriahan kembang api dan hitung mundur jam di akhir tahun 2025. Tak pantas itu dilakukan, tak empati dengan korban bencana ekologi yang setara ekosida. Bencana ekologi di Sumatera menjadi kado penutup tahun ini. Kado yang menjadi pelajaran bagi sesiapapun. Bahwa ketika alam dikangkangi keserakahan, alam akan membalasnya dengan dahsyat. Menjadi big story untuk generasi mendatang.
Baca Juga:Malam Tahun Baru 2026 di Sumedang Tanpa Kembang Api, Polres Tegaskan Larangan PetasanPisang Geprek dan Sticky Milk di Sumedang, Camilan Unik yang Bikin Nagih
Tak semuanya kelam diakhir tahun. Rujuknya Raisy Aam dan Ketua PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dari konflik, menjadi kado manis penutup tahun. Seolah menahbiskan pesan damai perayaan Natal, 25 Desember 2025. Semoga tetap rukun.
Konon tutup buku tahun ini, negara defisit Rp560,3 trilliun per November 2025 lalu. Katanya sih masih “aman”. Entahlah, barangkali diperusahaan, tak berlaku hukum “aman” dalam jor-joran pengeluaran. Tapi sudahlah, yang penting kita punya resolusi sederhana untuk tahun 2026. Menjaga dan menumbuhkan moral dan ecological citizenship, ekonomi tak susah, syukur berkembang, itu saja resolusi kita. (Kang Marbawi, 271225)
