Hadirin yang saya muliakan
Dalam dunia pendidikan jasmani yang berkaitan erat dengan aktivitas olah raga, ada sebuah ungkapan yang tidak asing bagi kita, yakni “sports build character “ dan “mens sana in corpore sano.” Ungkapan tersebut sejatinya telah menjadi adagium budaya masyarakat dari waktu ke waktu dan menjadi ideologi atau sebuah kredo yang abadi di antara pelatih, pendidik dan insan olahraga. Hasil renungan saya bahwa Ungkapan “sports build character” dan “mens sana in corpore sano” dalam dunia olahraga bukan hanya harus terus dikuatkan, ditumbuhkan, dan dikembangkan, tetapi juga perlu dibuktikan secara empiris bahwa hal tersebut bukanlah sebatas jargon. Pasalnya ungkapan olah raga membangun karakter dewasa seperti kembali dipertanyakan. Seiring dengan banyaknya problem-problem moral yang sering terjadi dalam hampir seluruh pertandingan olah raga. Pemukulan terhadap wasit, perkelahian antar pemain, pemalsuan umur pemain hampir terjadi di semua cabang olahraga, bahkan suap-menyuap dalam pertandingan dan penggunaan doping, merupakan fenomena yang sering mewarnai dunia keolahragaan (Muhtar et al., 2020). Ironisnya ketika ada yang tidak beres dengan moralitas, orang-orang akan segera menuding pendidikan. Masalah sosial yang berulang seperti konflik dan terjadinya dekadensi moral di masyarakat dianggap sebagai indikasi gagalnya sistem pendidikan (Alwasilah, 2013). Tudingan itu pada akhirnya berimbas juga kepada proses penyelenggaraan pendidikan jasmani di lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Terutama pada pendidikan formal yang dalam kurikulum di setiap jenjang pendidikan memuat Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan.
Hadirin yang saya hormati
Karena banyaknya masalah moral dalam setiap pertandingan, ungkapan sport build character atau mens sana in corpore sano banyak dipertanyakan. Menurut pemikiran saya, hal tersebut muncul karena adanya kecenderungan pergeseran paradigma pembelajaran penjas dari logika ideologi kepada logika ekonomi. Perhitungan untung-rugi dan manfaat ekonomis menjadi pertimbangan utama dalam olahraga. Fenomena itu tampak ketika olah raga sekarang menjadi sebuah industri. Dampaknya pembelajaran olahraga di setiap jenjang pendidikan berorientasi pada kemenangan atau memenangkan sebuah pertandingan dalam berbagai kompetisi yang diselenggarakan seperti O2SN. Oleh karena itu, hal-hal yang dianggap sebagai penghambat untuk meraih kemenangan, seperti kejujuran dan sportivitas, acapkali sengaja diabaikan. Inilah yang menjadi refleksi kritis saya atas fenomena pembelajaran penjas dewasa ini. Pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan yang diselenggarakan di setiap jenjang pendidikan telah bergeser dari ide awalnya, yakni dari ideologi membangun karakter menjadi ideologi ekonomi yang dihadapkan pada menang dan kalah dalam suatu pertandingan.