Dari Mata Kota Kapital
Oleh: Vania Kharizma
hmm,
ingat kali pertama kita ke Jakarta, Man?
logat norak kita, spokat hitam mulus
kuciran kepanganku yang amburadul
tapi garis tengah di rambutmu,
ah, susah dilupakan, Man!
ingat semua perjalanan kita di kereta, Man?
awan-awan berkejaran meliarkan kesucian,
benderang matahari yang begitu nganga,
liku persawahan yang teramat merindukan
menyapa dua manikam mata kita, Man
yang tengah menyapu segenapnya
bukankah kita sedang mengadon rindu?
hmm,
ingat bekal tahu di kopermu, Man?
Baca Juga:Puisi: Hikayat Ekspedisi Tulang Rusuk yang HilangDusta Pria di Cadas Pangeran
baunya meluas hingga koridor sebelah
ketika aku keluar dari gerbong toilet
melahap harum khas Sumedang
ah, bukankah hal-hal demikianlah
yang menyebabkan kita tak karuan?
rindu tengah berlayar dalam hati kita
dan kita tiada mengacuhkannya,
entahlah, di kota kapital kita begitu enggan
mengingat kampung halaman kita, yang –
notabene – dikata, kampung …
ah, aku mau oncom, aku mau tahu!
di kota kapital, susah sangat kita temui
hal-hal yang kerap memanjakan lidah kita
kadedemes, soto bongko, peuyeum singkong
ah, bisa gila karena rindu aku,
Man!
tapi di kota kapital ini, mereka saksikan kita
sebuah keunikan, kelangkaan, hal nadir
karena logat dan penampilan
tapi tetap saja, kerinduan di dada kita baka
Baca Juga:Puisi : Catat Rindu SumedangJalan Cintajaya-Jembarwangi Longsor
sawo citali jauh lebih mantap dilahap
ketimbang saksi-saksi ibukota
yang sekadar menayangkan trivia bagi kita
Solo, 2022