sumedangekspres – AKU sedih dan marah. Jurnalis Al-Jazeera Shireen Abu Aqla (Akleh) dibunuh oleh tentara Israel di Tepi Barat di wilayah Palestina Rabu (11/5). Tindakan mereka sangat pengecut dan tak termaafkan. Ini adalah fitnah terang-terangan terhadap kebebasan berbicara.
Shireen memainkan peran penting di awal karir saya di media. Kami berdua meliput Intifada II di Palestina yang meletus sejak 2000. Kala itu rakyat Palestina menggelar perlawanan besar-besaran terhadap Israel.
Dalam sejarah konflik Palestina vs Israel, gerakan ini terjadi dua kali, yakni Intifada I pada 1987–1993 dan Intifada II atau Intifada Al-Aqsa sejak tahun 2000.
Baca Juga:Perkuat Distribusi, CCEP Indonesia Gunakan Corporate Billing Management BRIBiomassa dan Biorefineri, Wadah Wujudkan Riset Bertaraf Internasional
Aku tak pernah membayangkan bisa menjadi jurnalis perang. Perjalananku dimulai dari mengajar anak-anak di Palestina pada 1999. Sebuah keputusan yang sempat ditentang kedua orang tua angkatku: Gerrie dan Han Wichers.
Mereka sempat menganggapku gila karena mau terjun ke medan perang. Aku tak punya pengalaman di wilayah konflik sama sekali. Satu-satunya pengalaman yang aku punya adalah menjadi wartawan majalah sekolah saat masih SMA.
Namun keputusanku sudah bulat. Aku merasa harus pergi ke Palestina. Mereka akhirnya memahami semua alasan yang aku jelaskan.
Takdir membawaku menjadi seorang jurnalis perang. Aku mengawali karir sebagai videografer di awal 2000-an. Shireen yang saat itu sudah punya banyak pengalaman tidak pelit berbagi ilmu.
Tak ada persaingan di antara wartawan perang. Kami semua saling berbagi informasi dan ilmu. Semua saling melindungi. Sebab tujuan kami sama: menyampaikan kepada dunia tentang mereka yang tertindas.
Kami berdua mengajukan diri sebagai guru tamu untuk Universitas Birzeit. Itu adalah kampus Palestina di utara Ramallah. Kami memulai kursus bersama untuk membantu jurnalis muda agar mereka memiliki pemahaman yang lebih baik tentang visual storytelling. Banyak siswa muda yang menjanjikan di sana.
Saya akan selalu mengingat Shireen sebagai wanita yang humoris, peduli, berani, dan berbakat. Dia selalu dengan antusias ingin berbagi pengalamannya dengan para jurnalis generasi baru.
Baca Juga:Jalan Wisata Dayeuh Luhur Licin dan Rawan LongsorKampung Cigumentong Puluhan Tahun Tidak Teraliri Listrik, Kini Bisa Nikmati Internet
Beberapa siswa membuat prestasi yang membanggakan. Nama mereka dikenal. Bahkan salah satu siswa kami membuat film dokumenter yang ditayangkan PBB, di New York.