Potret Silam Alun-alun Sumedang, Sejarah dan Makna Filosofisnya

Alun-alun Sumedang Tempo Dulu, Sejarah dan Makna Filosofisnya
Alun-alun Sumedang Tempo Dulu, Sejarah dan Makna Filosofisnya (istimewa)
0 Komentar

Salah satu unsur peradaban di Indonesia asli adalah adanya Pola Macapat (Mocopat). Pola ini merupakan susunan induk pemerintahan atau ibu kota yang memiliki tanah lapang atau alun-alaun sebagai pusatnya yang dikelilingi oleh istana (keraton), tempat ibadah atau upacara agama, pasar dan penjara.

Hal ini berlaku pula pada Alun-alun Sumedang yang dikelilingi oleh Gedung Negara di sebelah Selatan sebagai sebagai rumah dinas bupati, sebelah Barat Mesjid Agung, sebelah Utara Gedung DPRD yang dulunya sebagai pusat aktivitas warga, dan sebelah Timur Lembaga Pemasyarakatan.

Gedung Negara dibangun atas saran Asisten Residen Sumedang kepada Bupati Sumedang karena seringnya tamu-tamu dari Belanda yang berkunjung dan bermalam di Kota Sumedang. Termasuk Masjid Agung Sumedang dibangun oleh Pangeran Sugih. Semula masjid tersebut terletak di dekat Gedung Bengkok (Gedung Negara). Masjid Agung yang pertama dibangun oleh Pangeran Panembahan yang kemudian dipindahkan ke tempat yang sekarang.

Baca Juga:Simak Perbedaan Siaran TV Digital dengan TV AnalogCara Pindah ke Siaran TV Digital? Simak Langkah-langkahnya!

Sesuai dengan fungsinya, Bupati H Dony Ahmad Munir berharap agar Alun-alun yang telah ditata kembali tersebut agar benar-benar menjadi wadah kegiatan masyarakat untuk berkumpul.

“Selain sebagai ruang terbuka kota, kita harapkan Alun-alun ini semakin terbuka untuk berkumpulnya masyarakat dalam melaksanakan berbagai kegiatan,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, keberadaan pagar-pagar pembatas yang mengelilingi alun-alun dihilangkan dan kesannya menyatu dengan lingkungan sekitarnya, termasuk Mesjid Agung.

“Jadi di depan Gedung Negara ini nanti satu hamparan dengan Alun-alun. Mesjid Agung juga sama menjadi satu hamparan. Hal ini untuk mengembalikan filosofis Alun-alun sedari dulu,” tuturnya.

0 Komentar