Lebih memprihatinkan lagi, tidak hanya uang pribadi dan uang pemerintah yang dibakar oleh para perokok, tetapi juga berpotensi membakar masa depan anak bahkan sejak ia belum lahir. Selain masalah gizi, perokok juga mengekspos ibu hamil sebagai perokok pasif.
“Bahkan ketika anak tumbuh dewasa, daripada untuk anaknya sekolah, uang malah digunakan untuk beli rokok. Saat turun langsung meneliti di Demak, saya terenyuh sekali melihat kondisi anak-anak yang mengalami stunting hanya karena keputusan orang tua yang tidak rasional dalam memikirkan diri sendiri. Kenapa bisa ada orang yang tidak rasional seperti itu? Karena rokok mengandung zat adiktif,” kata Teguh atas penelitiannya bersama tim FEB UI yang juga telah dipublikasikan di berbagai jurnal internasional terkemuka.
Teguh berharap, masyarakat luas dapat memahami filosofi kenapa cukai rokok perlu dinaikkan. Selain itu, ia juga berpesan kepada masyarakat untuk memprioritaskan gizi dan pendidikan anak. Khususnya, untuk penerima bantuan dari Pemerintah (Program Keluarga Harapan/PKH).
Baca Juga:Aplikasi TikTok Aktifkan Batasan Konten Untuk Pengguna RemajaPemerintah China Mengusung Undang-Undang Anti-Asing
Seluruh penerima bantuan sosial telah menandatangani klausul bahwa bantuan sosial tidak boleh digunakan untuk merokok. Ia berharap, jangan sampai sumber daya yang diberikan oleh pemerintah digunakan untuk membeli rokok.
“Daripada membakar uang, lebih baik berhenti merokok saja, itulah tujuan utamanya dari kenaikan cukai. Penelitian kita juga menunjukkan, masih ada perokok yang rasional, artinya ketika rokok mahal, ada yang berhenti dan ada yang mengurangi rokoknya. Sehingga, tujuan akhirnya akan tercapai, yakni kenaikan cukai rokok dapat mengurangi stunting,” ujar Teguh. ***