Kebanyakan pengrajin tembikar di daerah tersebut menganggap pangeran ini sebagai sosok legendaris yang dipuja dan disakralkan. Itu sebabnya namanya tercatat di beberapa daerah khususnya di Jawa Barat di sentra-sentra pembuatan gerabah antara lain Cirebon, Sitiwinangun, Panjunan Astana Japura dan Plered – Purwakarta ada Kampung Anjun, di Karawang Tanjungpura ada kampung Anjun Kanoman.
Mengingat Pangeran Panjunan pernah hidup bersama Sunan Gunung Djat sekitar abad ke-15. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi gerabah sudah ada di beberapa pusat di Jawa Barat jauh sebelum kedatangan Belanda.
Sejarah lain keramik Plered sebagai kerajinan ada sejak zaman penjajahan Belanda, yaitu sekitar tahun 1795 ketika Citalang dikelilingi oleh lio-lio (tempat pembuatan genteng dan batu) dari rumah-rumah penduduk. Semuanya beratap rumbia dengan daun lontar, sirap, kelapa, dan alang-alang.
Bahkan di sekitar Anjuni (Panjuna) produksi tembikar/gerabah dimulai.
Baca Juga:Sejarah Sri Baduga PurwakartaSejarah Kota Purwakarta Sampai Sekarang
Sejak tahun 1935 keramik menjadi industri rumahan dan pada tahun yang sama sebuah perusahaan Belanda membangun pabrik besar Hendrik De Boa di Warukandang, Plered.
Pada masa pendudukan Jepang, pekerjaan gerabah mengalami kemunduran karena penduduk kebanyakan bekerja sebagai tukang sampah di sekitar Ciganea dan Gunung Cupu.
Pada masa kemerdekaan, karena keterlibatan rakyat dalam perjuangan, produksi hampir terhenti hingga tanggal 29 Desember 1945, berangsur membaik dan mulai pulih, apalagi sejak tahun 1950 Bung Hatta bangunan utama pembuat gerabah di dekat Gonggo, Plered, secara resmi. membuka
Saat itu mesin-mesin tersebut diimpor dari Jerman dan mengalami masa kejayaannya ketika produksinya relatif tinggi, kecuali induk keramik membawa pertumbuhan pesat pada industri rumahan.