sumedangekspres – Dibangun sejak 2011 silam, berikut ini adalah alasan 12 tahun pembangunan Tol Cisumdawu belum juga selesai sepenuhnya.
Dari catatan yang ada, sejarah Jalan Tol Cileunyi Sumedang Dawuan dimulai ketika batu pertama diletakkan pada tahun 2011 di Desa Citali, Kelurahan Pamulihan, Kabupaten Sumedang.
Pada tahun 2013, saat dilakukan peninjauan, Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar menargetkan agar Jalan Tol Cisumdawu selesai dibangun pada tahun 2016.
Baca Juga:Dinas PMPTSP Jabar Ajak UMKM Ikuti CIFEST 2023. Hadiah Puluhan Juta Rupiah, Pendaftaran Mulai 17 Juni 2023Spesifikasi Handphone Nokia C21 Plus Mulai Dari Kelebihan Dan Kekurangan
Tujuannya utamanya adalah untuk menjadi akses ke Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Kabupaten Majalengka.
Namun, karena banyak kendala, target tersebut tidak tercapai. Bahkan dengan pergantian gubernur dan presiden, jalan tol ini tetap belum selesai.
Pada tanggal 29 November 2011, peletakan batu pertama dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, dan Menteri PUPR, Djoko Kirmanto.
Presiden Republik Indonesia (RI), Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, masih menjabat dalam periode kedua saat itu.
Hingga batas waktu yang ditentukan yaitu selesai pada tahun 2016, jalan tol tersebut tidak kunjung selesai. Hingga terjadi pergantian Gubernur Jawa Barat dan dijabat oleh Ridwan Kamil.
Pergantian presiden juga terjadi, dijabat oleh Ir Joko Widodo. Barulah pada periode kedua Presiden Jokowi, jalan tol ini mulai mendekati selesai.
Lalu sebenarnya apa alasan yang menghambat pembangunan jalan Tol Cisumdawu ini?
Simak alasan kenapa pembangunan jalan tol Cisumdawu ini belum selesai.
1. Sengketa Tanah
Baca Juga:Review Jujur Bedak Wardah Colorfit Perfect Glow CushionHarga Mobil Supra MK4 Setara 15 Avanza, Apa Sih Bagusnya Mobil Ini? Simak Spesifikasi dan Harganya di Sini
Banyak terjadi sengketa tanah yang membuat proses pembebasan lahan menjadi terhambat dan molor dari target yang sudah ditentukan.
2. Diurus Setingkat Daerah
Sengketa diurus oleh tingkat daerah dan tidak diurus oleh pusat.
3. Tak Bisa Diskusi dengan Masyarakat
Komunikasi yang kurang lancar antara masyarakat pemilik lahan dan pihak-pihak terkait.
Terlebih saat 2019 ketika Covid-19 mulai menyerang dunia dan segala kegiatan dibatasi.