Kehilangan Moral dan Akal Gara-Gara Uang

Kehilangan Moral dan Akal Gara-Gara Uang
Kehilangan Moral dan Akal Gara-Gara Uang (freepik.com)
0 Komentar

sumedangekspres – Uang, seperti air yang mengalir di sungai kehidupan, mampu merubah haluan pikiran dan perbuatan kita, tanpa kita sadari.

Dalam lingkaran psikologi, seorang peneliti mengulik rahasia antara harta dan hati, dan terkuaklah fakta menarik. Benarkah harta membuat tawar hati dan moral tergerus?

Kekayaan, takdir yang dipersepsikan, terukur lewat kantong, pekerjaan, dan pangkat sosial.

Baca Juga:Art Moments Jakarta 2023: Membuka Jendela Baru Bagi Seniman LokalKAWS: HOLIDAY Jogja, Niat Liburan Malah Jadi Liat Karya Seni

Namun, tatkala kita merenungi, apakah yang berduit lebih beku empatinya dibanding yang merasakan kesusahan?

Dari lautan studi, greatergood.berkeley.edu mengisahkan temuan menarik. Beberapa eksperimen menunjukkan, harta tak selalu mengisi ruang hati.

Terkuak dalam jurnal Psychological Science, orang berduit ternyata ‘buta’ pada ekspresi wajah, jendela empati.

Sebaliknya, jiwa di lapisan bawah mampu membaca raut wajah, tanda kepedulian.

Perbedaan mencolok kedua dunia ini terletak pada ketangguhan hidup. Kelas rendah rentan, tersungkur, membutuhkan genggaman tangan.

Di situ kemandirian emosi bertunas. Kelas atas? Mereka berlalu dalam kenyamanan, tak terpapar getaran sosial yang keras.

Pada harta yang menggunung, kepekaan rentan tersapu arus yang dingin.

Namun tak sebatas itu. Benih perilaku menyebar lebih luas. Peneliti UC Berkeley mengupas duri di hati uang, bahkan yang palsu.

Baca Juga:Hati-Hati Terjebak FWB MenyakitkanSejarah Universitas Sebelas April Sumedang

Sebuah permainan monopoli mempertunjukkan betapa uang, seperti racun merasuk. Seorang diberi lebih, tampaknya wajahnya mengerut, tapi permainan menyulut api.

Rasa cemas berubah jadi agresi, ruang ditempati berlebih, tawa mengejek yang lebih lemah. Ternyata, harta sungguhan atau mainan, hati yang lebih penuh bisa mengkerdilkan rasa hormat.

Bukan berarti uang tak lebih dari akar segala keburukan. Ini soal perspektif dan prinsip. Kekayaan bisa membangun jembatan atau tembok.

Saat uang menjadi panglima, manusia bisa terhempas tanpa pandang belas kasihan. Namun, dalam tangan bijak, uang adalah pengerak kebaikan.

Kita masih bisa mengubah narasi ini. Membalik keadaan yang terbalik.

Kita tak harus mengejar kesenangan duniawi semata, melainkan berbagi dan memperhatikan yang lain.

Dalam kesederhanaan, jauh dari kepalsuan, terpancar kekayaan batin yang tak ternilai.

Uang, sejatinya, adalah alat. Uang tidak mempunyai moral atau empati sendiri. Ia seperti pisau, bisa digunakan untuk memasak makanan lezat atau melukai orang.

0 Komentar