Panggilan yang tepat dari penulis kepada pemimpin yang masih seperti demikian di zaman ini adalah “manusia kaku”. Dalam tahapan tertentu, pemimpin itu adalah seorang pemimpi.
Pemimpin harus punya mimpi dan obsesi atau visi misi, bahkan ambisi, pemimpin besar pasti punya mimpi besar. Untuk mewujudkan mimpi besar itulah para pemimpin diuji, dihadapkan pada realita menantang.
Pemimpin demokratis akan berupaya mewujudkan mimpi dan obsesinya secara demokratis. Sebaliknya, tidak demikian halnya dengan pemimpin otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri dan menganggap dialah bersama elitenya yang paling mampu tanpa menghiraukan suara rakyatnya.
Baca Juga:Baliho Ganjar-Mahfud Dicopot Penjabat (PJ) Gubernur Bali, Kenapa?Mahfud MD ‘Tidak Mau Mundur’ Dari Jabatannya Sebagai Menko Polhukam Meski Sudah Menjadi Cawapres, Ini Pernyataannya
Tetapi, yang jelas, apakah gaya atau jalan yang ditempuh pemimpin itu demokratis atau otoriter (manusia kaku), pemimpin adalah elite utama yang bekesempatan merubah keadaan, membelokkan jalan sejarah.
Kondisi perpolitikan khususnya pasca 1998, yakni tatkala orde baru telah digantikan oleh era reformasi, sungguh terasa hingar-bingar di kalangan revolusioner seperti kaum muda.
Jarum jam sejarah seolah berputar kembali ke era 1950-an, dimana Indonesia berada dalam fase Demokrasi liberal yang sama-sama banyak partanya. Hanya, kalau pada era demokrasi liberal pemerintahan bersistem parlementer, saat ini pemerintah bersistem presidensial.
Tapi, praktik demokrasi politik kita ini, dalam banyak hal masih menunjukan cara-cara parlementer akibat dari masih banyak “manusia kaku” didalam tubuh kepemimpinan bangsa ini.
Menjelang pemilu, baik legislatif, pilkada sampai pemilihan di tingkat Desa, masyarakat dihadapkan dengan berbagai atraksi para elite politik.
Politisi kadang tidak mempersoalkan kompetensi atau kepatutan, praktik politik kini kerap susah dipahami dalam kerangka budaya Timur, walaupun tidak demikian halnya dengan budaya demokrasi.
Dalam budaya Timur, calon pemimpin cenderung dikesankan tampil pasif, menunggu didesak dicalonkan, lalu secara teatrikal mengatakan dengan berat hati menerimanya sebagai amanah dan panggilan.
Baca Juga:9 Film Jepang yang Tidak Boleh Ditonton Anak Kecil, BAHAYA!Baca PLACEBO Manhwa Chapter 19 Sub Indo, Komik Korea yang Menuai Banyak Pro-Kontra
Baru kemudian seolah-olah cari dukungan, namun budaya demokrasi menerobos hal itu, meneriakan ambisi menjadi calon tidak dianggap tabu.
Kekuasaan hanyalah sarana tujuan (intermediate goal) belaka, bukan tujuan pokok (ultimate goal) pemimpin yang memandang kekuasaan adalah tujuan pokok yaitulah para “manusia kaku”