Dalam konferensi pers, Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, membantah adanya larangan Butet Kartaredjasa untuk berbicara tentang politik dalam pentas teater tersebut.
Sandi menegaskan bahwa semua anggota kepolisian netral dalam Pemilu 2024, dan ia bahkan mengundang masyarakat untuk melaporkan anggota polisi yang terlibat dalam intimidasi atau perilaku partisan.
Perwakilan dari Kayan Production, penyelenggara pentas teater ini, juga membantah adanya intimidasi dari pihak kepolisian terkait surat yang ditandatangani Butet.
Baca Juga:Viral di WhatsApp: Alat Peraga Kampanye Caleg PDIP Rusak, TMP Karawang Selidiki KejadianRevitalisasi Sabusu Menuju Center of Social Growth: Komitmen Pemda Sumedang
Mereka menyatakan bahwa surat pernyataan itu diberikan sebelum pentas digelar dan tidak ada intimidasi yang terjadi dalam penandatanganan surat tersebut.
Kisah kontroversial ini membuka ruang diskusi yang luas mengenai batasan antara seni dan politik di Indonesia.
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa seni harus bebas dari segala bentuk pembatasan, termasuk dalam menyuarakan aspirasi politik. Namun, di sisi lain, ada pihak yang menganggap bahwa seni harus tetap netral dan tidak terlibat dalam urusan politik agar dapat dinikmati oleh berbagai kalangan masyarakat.
Perdebatan seputar hubungan seni dan politik tidaklah baru di Indonesia.
Sejak era Orde Baru hingga masa reformasi, seniman seringkali berhadapan dengan tekanan dan pembatasan terkait dengan konten politik dalam karyanya. Pertanyaannya adalah, apakah Indonesia, setelah melalui periode reformasi, benar-benar memberikan ruang yang cukup bagi seniman untuk mengekspresikan diri tanpa takut terhadap pembungkaman?
Seni memiliki peran penting dalam membentuk identitas budaya suatu bangsa. Melalui seni, kita dapat menggali dan memahami berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk realitas politik yang sedang berlangsung. Pembatasan terhadap seniman untuk membahas isu politik dalam karyanya bisa dipandang sebagai pembungkaman terhadap suara kritis dan pemikiran yang berbeda.
Namun, di sisi lain, ada argumen bahwa seni seharusnya tetap netral agar dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat tanpa adanya perpecahan. Pertunjukan seni, termasuk teater, sering kali dianggap sebagai bentuk hiburan yang harus mempersatukan, bukan memecah-belah.
Pertanyaan etis juga muncul dalam konteks ini. Sejauh mana seorang seniman memiliki tanggung jawab sosial dalam menyampaikan pesan politik melalui karyanya? Apakah seniman memiliki kebebasan penuh untuk mengemukakan pandangannya, atau apakah ada batasan-batasan tertentu yang harus dihormati?