sumedangekspres – Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan sumber daya alamnya, namun saat ini menghadapi ancaman serius terhadap ketahanan pangannya.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengingatkan, kelangkaan air menjadi salah satu faktor utama penyebab kerentanan gangguan pangan.
Menurut Dwikorita, kekeringan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia disebabkan oleh meningkatnya suhu bumi.
Baca Juga:Mengoptimalkan Stabilitas Harga Kebutuhan Pokok di Sumedang: Peran Caleg DPRD Jawa BaratKapolsek Ujungjaya AKP Adang Sobari: Korban Tenggelam di Bendung Cariang Tidak Bisa Berenang
Rekor suhu tertinggi akan terus dipecahkan pada tahun 2023, dan bulan Juli akan menjadi rekor bulan Juli terpanas.
Penting untuk mencatat bahwa kenaikan suhu global ini bukan fenomena baru. Sejak tahun 1850-an, terjadi peningkatan temperatur global yang diperparah oleh pertumbuhan industri.
Dwikorita menjelaskan bahwa menjelang tahun 1980-an, terjadi lonjakan suhu yang signifikan.
Dalam kurun waktu tersebut, suhu global naik sekitar 1,2 derajat Celcius dibandingkan dengan periode sebelum revolusi industri.
Bahkan, 8 tahun terakhir mencatatkan diri sebagai rekor suhu tertinggi dalam sejarah.
Dampak dari lonjakan suhu bumi ini, menurut Dwikorita, telah menciptakan kondisi “global water hotspot” atau daerah-daerah kekeringan yang merata di seluruh dunia.
Kekurangan air yang menjadi dampak utama dari perubahan iklim ini diprediksi akan berlangsung beberapa waktu ke depan.
Baca Juga:Alami Kram, Alan Tenggelam di Bendung CariangMengelola Stres untuk Kesehatan Optimal: Pentingnya Perhatian Terhadap Kesejahteraan Mental
Dalam konteks Indonesia, Dwikorita mengungkapkan bahwa indikator tekanan ketahanan pangan menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ini, khususnya sekitar tahun 2050-an, sebagian besar wilayah di bumi, termasuk Indonesia, akan menghadapi situasi yang mengkhawatirkan.
Peta indikator menunjukkan warna orange hingga hitam, menggambarkan tingkat tekanan ketahanan pangan yang semakin meningkat.
Proyeksi tersebut mengaitkan krisis pangan dengan kekurangan air, yang disebut-sebut sebagai konsekuensi dari lonjakan suhu bumi.
Dwikorita memperingatkan bahwa wilayah-wilayah dengan warna orange, cokelat, merah, hingga hitam diprediksi akan mengalami kekurangan pangan yang signifikan.
Hasil pantauan BMKG juga menyoroti konsentrasi CO2 yang diukur di GAW Kototabang sejak tahun 2004.
Konsentrasi CO2 yang terus meningkat hingga tahun 2023 menjadi salah satu indikator kuat perubahan iklim yang turut berkontribusi pada krisis pangan global.
Dengan demikian, Indonesia sebagai negara agraris harus segera mengambil langkah-langkah preventif dan adaptif untuk menghadapi tantangan yang semakin nyata ini.