Beberapa sumber menunjukkan bahwa Rohingya memiliki keturunan dari pedagang dan tentara Arab, Turki, atau Mongol yang bermigrasi ke negara bagian Rakhine pada abad ke-15. Seiring berjalannya waktu, pedagang Muslim ini berbaur dengan pendatang dari Bangladesh dan India, membentuk identitas etnis Rohingya, dan hidup berdampingan dengan umat Buddha.
Pada akhir abad ke-18, konflik mulai muncul ketika Inggris datang untuk menjajah dan menjadikan Myanmar sebagai koloninya. Saat itu, datang juga orang-orang India yang dijajah oleh Inggris, memunculkan perasaan mengambil hak-hak orang Myanmar. Pada sekitar 1942, setelah Inggris diusir oleh Jepang, etnis Rohingya di Rakhine menjadi sasaran kemarahan orang Myanmar.
Mereka dianggap sebagai sekutu Inggris, dan ditambah dengan penampilan fisik yang mirip dengan orang India, orang Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal yang dibawa Inggris dari India dan Bangladesh. Kemudian permasalahan bertambah ketika lahirnya undang-undang baru pada 1982. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa etnis Rohingya tidak lagi diakui sebagai kelompok etnis minoritas di Myanmar, mengakibatkan pencabutan hak-hak mereka dan membuat Muslim Rohingya menjadi populasi tanpa kewarganegaraan.
Baca Juga:Kecelakaan Rombongan Capres Anies di Aceh: Ketua PAN Turut Prihatin!Jadwal Debat Capres Indonesia: Tentukan Pilihanmu dari Sekarang!
Krisis etnis Rohingya semakin kompleks ketika militer Myanmar mengaitkan mereka dengan isu terorisme, menciptakan ketakutan di kalangan umat Buddha Myanmar bahwa negara mereka akan diambil alih oleh populasi Rohingya yang relatif kecil. Kekhawatiran ini semakin menguat dengan munculnya kelompok militan seperti Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang kerap melakukan serangan balik terhadap pasukan keamanan Myanmar.
Dari penjelasan tersebut, kita dapat mengetahui sejarah dan masa kelam dari Rohingya, sehingga muncul rasa solidaritas untuk “mempertimbangkan” apakah kita perlu menerima kelompok pengungsi tersebut. Menerima pengungsi Rohingya bukan sekadar tindakan kemanusiaan. Tindakan ini adalah demonstrasi nyata dari kesediaan untuk membuka pintu bagi mereka yang mencari perlindungan.
Masyarakat lokal, dalam berbagai tingkatan, telah berperan sebagai bentuk nyata dari kesatuan kemanusiaan. Melalui inisiatif berbasis komunitas, warga setempat telah membuka peluang bagi pengungsi Rohingya untuk menyesuaikan diri dan merasa diterima. Secara keseluruhan, sikap penerimaan terhadap pengungsi Rohingya menciptakan dinamika kompleks dalam struktur sosial masyarakat.