Namun masalah kedua muncul, ketika mereka mendesak ingin memiliki sertifikat kepemilikan lahan dari pemilik tanah (H. Bustam) ke para pedagang. Akhirnya, dengan bantuan para pengelola pasar resik yang lama, dibukakan jalan keluar yakni mereka harus membeli lahan dengan cara kredit ke bank BJB, dengan kisaran pinjaman biaya Rp4.9 miliar, dengan tenor 4 tahun.
Namun, seiring berjalanya waktu, dari 67 pedagang hanya 49 pedagang yang melakukan cicilan ke BJB dengan hanya dana terkumpul sekitar Rp300 jutaan. Akhirnya selama 2 tahun cicilan ke BJB terjadi kemacetan. Yang kemudian para pedagang mengadu lagi ke Dadang Rohmawan yang saat itu anggota DPRD Sumedang periode 2014-2019.
Karena kesibukannya sebagai anggota DPRD, Dadang tidak fokus ke pengelolaan pasar. Hingga sampai 1 tahun Dadang tidak berkecimpung ke pengelolaan pasar. Akhirnya, muncul notifikasi dari BJB ke Dadang Rohmawan bahwa ada tunggakan dari para pedagang ke BJB selama 2 tahun. Singkat cerita keuangan pasar terjadi kolaps selama 5 tahun, dan idealnya pasar sudah disita pihak bank.
Baca Juga:Upacara Penurunan Bendera HUT RI Ke-79 di Kabupaten Sumedang Berlangsung Khidmat 400 Ton Mangga Gedong Gincu Sumedang Akan Diekspor ke Jepang
Namun, Dadang bersama pengurus pasar lainnya dicarikan solusi ke Bjb dengan cara restrukturisasi atau penangguhan cicilan, yang awalnya 4 tahun menjadi 12 tahun dengan tenor cicilan sebesar Rp100 juta untuk 49 pedagang. Singkat cerita cicilan ke BJB itu lunas. Sehingga, muncullah SHBG (Sertifikat Hak Guna Bangunan) dari BPN ke 49 pedagang.
“Nah setelah realisasi pinjaman, harus ada balik nama. Harus ada proses perizinan pertanahan. Maka pihak BJB melakukan proses balik nama dengan menunjuk pihak notaris dari pemilik lahan (H. Bustam) ke 49 pedagang. Nah dari situ apa yang terjadi, muncullah 49 SHBG dari BPN karena memang peruntukannya lah,” pungkasnya. (kos)