Gerakan ini mendapatkan momentum terutama setelah munculnya beberapa isu kontroversial terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan revisi Undang-Undang Pilkada. Di balik simbol Garuda Biru, terdapat sejumlah isu penting yang menjadi perhatian masyarakat, antara lain:
- Polemik Putusan MK vs Revisi UU PilkadaPutusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat partai politik untuk mengikuti Pemilu dan revisi UU Pilkada yang dianggap kontroversial menjadi salah satu pemicu munculnya gerakan ini. Masyarakat yang khawatir dengan dampak dari perubahan tersebut mulai memobilisasi dukungan untuk memastikan bahwa proses pemilihan berlangsung secara adil.
- Isu Korupsi dan Penegakan HukumKasus korupsi besar yang melibatkan berbagai pihak serta ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum juga turut menjadi latar belakang munculnya peringatan ini. Masyarakat menginginkan agar kasus-kasus korupsi ditangani dengan transparan dan adil.
- Kebebasan Berekspresi dan DemokrasiPembatasan terhadap kebebasan berekspresi, serta tindakan represif terhadap aktivis dan pengkritik pemerintah, menjadi perhatian lain yang diangkat oleh peringatan Garuda Biru. Gerakan ini menuntut agar demokrasi di Indonesia tetap dijaga dan dilindungi dari ancaman-ancaman yang dapat membungkam suara rakyat.
Gerakan Garuda Biru tidak hanya mengekspresikan kekecewaan masyarakat terhadap Putusan MK, tetapi juga mencerminkan keprihatinan terhadap sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dianggap bertentangan dengan putusan tersebut. Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Panitia Kerja (Panja) lebih memilih menggunakan putusan Mahkamah Agung (MA) ketimbang putusan MK terkait dengan batas usia calon kepala daerah untuk Pilkada 2024. Dalam rapat yang diadakan pada Rabu, 21 Agustus 2024, Baleg sepakat bahwa UU Pilkada akan mengacu pada putusan Nomor 23/P/HUM/2024 yang telah ditetapkan oleh MA pada 29 Mei 2024.
Pendapat dari Abdul Mu’ti, yang dikutip dari detiknews.com, mengungkapkan kebingungan terhadap langkah DPR yang memilih untuk merevisi UU Pilkada setelah keluarnya putusan MK. Menurut Mu’ti, seharusnya DPR tidak berseberangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga legislatif, DPR seharusnya menjadi contoh yang baik dengan mematuhi undang-undang.
Baca Juga:Kapan Gempa Megathrust di Indonesia 2024? Ini Penjelasan LengkapnyaGempa Megathrust Hoax atau Fakta? Ini Penjelasan Lengkapnya
Mu’ti juga menekankan pentingnya DPR untuk merepresentasikan kehendak rakyat dan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi. Ia menambahkan bahwa langkah DPR yang bertentangan dengan putusan MK bisa memicu masalah disharmoni dalam sistem ketatanegaraan dan menciptakan potensi konflik yang serius dalam Pilkada 2024. Mu’ti mengingatkan bahwa reaksi publik yang marah dapat menyebabkan situasi yang tidak kondusif di masyarakat.