WIJI lewat puisi di tahun 80-an. Bahkan protesnya menggetarkan penguasa saat itu. Tak hanya lewat puisi, diapun berani melawan untuk memperjuangkan hak-hak warga yang dikibuli. Dengan demonstrasi.
Seperti halnya sudut pandang, begitupun Wiji Tukul, dianggap penghasut oleh tiran. Hingga harus dihilangkan dari muka bumi. Wiji tukul bukan pahlawan versi tiran. Tapi dia menjadi ikon perlawanan kepada tiran. Pahlawan untuk kaum marginal.
Tubuh Wiji Tukul, telah dihilangkan. Entah dimana jasadnya. Namun semangat perlawanannya masih terus bergema. Seperti puisinya
“Ucapkan Kata-Katamu”
“Jika kau tak sanggup lagi bertanya
Kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan
Jika kau tahan kata-katamu
Mulutmu tak bisa mengucapkan
Apa maumu terampas
Kau akan diperlakukan seperti batu
Dibuang dipungut
Atau dicabut seperti rumput
Atau menganga
Diisi apa saja menerima
Tak bisa ambil bagian
Jika kau tak berani lagi bertanya
Kita akan jadi korban keputusan-keputusan
Jangan kau penjarakan ucapanmu
Jika kau menghamba pada ketakutan
Kita akan memperpanjang barisan perbudakan”
Kemasan-kentingan-sorogenen-Solo
Baca Juga:Usai Kasus Keracunan Massal Siswa, Bupati Dony Akan Panggil Kepala MBG dan Ahli GiziBupati Sumedang Pastikan Pelayanan Maksimal bagi Korban Keracunan Makanan MBG
Puisi Wiji Tukul telah bermetamorfosis menjadi viralitas ciutan, komentar warga dunia maya-netizen di media sosial (medsos). Bahkan lebih dahsyat. Kata-kata netizen hampir bisa mengalahkan suara para wakil rakyat itu sendiri.
“Cuitan” netizen, seolah melaksanakan “dawuhnya” Wiji Tukul untuk berani bersuara, bertanya dan untuk tidak takut. Bahkan saking berani dan bisingnya -melebihi sound horeg, suara natizen kadang kebablasan menjadi umpatan kotor dan kurang beradab.
Wiji Tukul menjadi inspirasi untuk sebuah perlawanan terhadap tirani yang mengangkangi keadilan dan keadaban. Namun demikian kita masih harus memberi kepercayaan terhadap keberadaban para pemimpin dalam memimpin negeri ini. Kesaling percayaan terhadap jalannya dan tumbuhnya demokrasi yang beradab dengan kebebasan bersuara rakyat yang kadang tak terwakili di gedung-gedung wakil rakyat.
Bersuara dengan cara beradab, seperti Wiji Tukul. Berani bersuara, menyuarakan kerapuhan etika dan moral para penyelenggara negara dan siapapun yang tak beradab. Menyuarakan maraknya korupsi, kerusakan lingkungan, sistem politik yang semata mengejar kekuasaan, hukum yang dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan dan lainnya, kekuasaan yang dijalankan semaunya. Itu yang harus disuarakan.