Menurut Zaelani, bantuan sosial bukan jawaban jangka panjang. “Kami nggak minta dikasih terus. Yang dibutuhkan itu modal, pelatihan, pendampingan. Biar usaha ini berkembang,” tegasnya.
Ketua RT 02 RW 06, Bah Amin (69), membenarkan kondisi tersebut. Dari sekitar 80 kepala keluarga, lebih dari 90 persen menggantungkan hidup pada usaha musiman.
“Hampir semuanya bikin layangan atau jualan kecil-kecilan. Opak, ladu, tahu, ketan,” katanya.
Baca Juga:Kemiskinan Jawa Barat: Butuh Aksi Nyata, Bukan Sekedar Angka!Beban Ganda Kemiskinan di Jabar, Beras Mahal dan Upah Murah Jepit 3,65 Juta Warga
Ketergantungan ini membuat warga sangat rentan. “Kalau hujan, penghasilan turun semua. Mau kerja lain juga susah,” ujarnya.
Pegawai Desa Singajaya, Heri, mengakui masih banyak warga berpenghasilan jauh di bawah standar. “Sekitar 20 KK penghasilannya di bawah Rp500 ribu per bulan,” ungkapnya.
Menurutnya, desa telah melakukan pendataan, namun intervensi yang dibutuhkan melampaui kapasitas desa. “Kalau hanya bansos, dampaknya terbatas. Harus ada program ekonomi produktif dari kabupaten dan provinsi,” katanya.
Kampung Pasirwangi adalah alarm keras di tengah narasi pembangunan Bandung Barat dan Jawa Barat. Di saat proyek berjalan dan angka statistik dipoles, masih ada warga yang bekerja keras setiap hari, tetapi tetap terjebak di lingkar hidup paling dasar: makan hari ini, lupa besok.
Kemiskinan ekstrem di Pasirwangi bukan sekadar angka. Ia adalah ruang sempit 4×3 meter, anak sekolah yang berjalan berkilo-kilometer, layang-layang seharga Rp300, dan harapan sederhana: kesempatan untuk hidup lebih layak.(red)
