SUMEDANGEKSPRES.COM – Berdasarkan Wikipedia, Jalan Tol Cileunyi–Sumedang–Dawuan atau disingkat dengan Tol Cisumdawu adalah sebuah jalan tol sepanjang 62,60 kilometer bagian dari Jalan Tol Trans Jawa yang berada di Jawa Barat. Jalan Tol Cisumdawu akan menghubungkan daerah Bandung, Sumedang, dan Majalengka.
Jalan tol ini diketahui melintasi Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Majalengka yang menghubungkan dua kota terbesar di Jawa Barat yaitu Bandung dan Cirebon. Tol ini nantinya akan tersambung dengan Jalan Tol Cikopo – Palimanan (Cipali).
Konstruksi jalan tol tersebut, dibagi menjadi 2 bagian pekerjaan dengan dukungan pemerintah dan swasta (PT CKJT) Seksi 1 & Seksi 2 dikerjakan oleh pemerintah sepanjang 28,50 km dan Seksi 3 – Seksi 6 dikerjakan oleh swasta (PT CKJT) sepanjang 32,60 km.
Baca Juga:Waspada, Sumedang Zona Oranye. Kasus Positif Covid Terus Meningkat. Ratusan Warga Antre Hasil PCRBupati: Pembebasan Lahan Tol Cisumdawu Mencapai 90 Persen
Akan tetapi, pembangunan proyek strategis nasional tersebut terbilang lambat jika dibandingkan dengan proyek tol Trans – Sumatera yang memiliki panjang sekitar 2818 km dan dikelola oleh PT Hutama Karya (Persero).
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sumedang Titus Diah mengakui jika pembangunan Proyek Tol Cisumdawu merupakan pembangunan ruas jalan tol terpendek dan terlama.
“Kami mengawal Tol Cisumdawu ini dari 2014. Yang jelas, sekarang kenapa pembangunannya lebih lama dibanding dengan yang lain. Ternyata, ada sejumlah permasalahan yang terjadi dilapangan,” ujarnya saat dikunjungi di ruang kerjanya, Rabu (16/6).
Titus menjelaskan, sebelumnya ditahun 2010 hingga 2012, untuk penyelenggara proyek tersebut ada Panitia Pengadaan Tanah (P2T) yang dikomandoi langsung oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan untuk mewakili dari masyarakat, maka dibentuklah Tim 7 yang berada di setiap desa yang terkena pembangunan proyek Tol Cisumdawu.
“Nah, tim 7 ini justru tidak dapat mewakili masyarakat. Jadi negosiasi yang dilakukan itu tidak diketahui masyarakat. Bahkan sosialisasi juga tidak diketahui. Sehingga, transaksi itu hanya dilakukan oleh P2T dan Tim 7 saja,” terangnya.
Seiring berjalan waktu, untuk penyelenggara proyek tersebut berkembang dengan aturan baru. Dimana yang sebelumnya dilakukan oleh P2T, beralih kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Akan tetapi, setelah ada peralihan tersebut, justru malah memicu permasalahan baru. Diantaranya dengan tidak tersampaikannya sosialisasi kepada masyarakat, sehingga Tim 7 tetap memiliki peran didalamnya.