Koleksi keranya lengkap sekali. Termasuk kera putih. Juga kera dari banyak negara. Saya lagi cari-cari kera yang wajahnya mirip saya: tidak ketemu.
Yang terbaru: ada kera “slow motion” dari Thailand –kera yang lucu karena geraknya sangat-sangat lambat.
Kera “slow motion” itu baru saja tiba. Pagi itu. Masih ditempatkan di kandang khusus karantina –di belakang ”club house”.
Baca Juga:Wisata Gunung Golempang Sepi Pengunjung, Akses Jadi Kendala UtamaMasyarakat Harus Maknai Isi Kegiatan Geulisan
Jam 10.30 helikopter Datuk Low tiba. Saya menyambutnya di teras club house. Ia hanya pakai hem dan celana sangat biasa. Umurnya 74 tahun. Masih lincah. Badannya sangat langsing.
Setelah menyapa saya, ia menoleh ke seorang staf. “Sudah datang?” tanyanya.
Yang ditanyakan itu soal kera “slow motion” tadi. Yang ditanya mengangguk.
“Kita lihat yuk…,” katanya pada saya.
“Saya sudah melihatnya tadi pagi,” jawab saya.
“Kita lihat lagi…,” pintanya.
Kami pun ke kandang karantina itu. Dua kera itu lagi tidur.
Dalam hati, saya tersenyum. Kok yang ditanyakan pertama soal binatang. Bukan perkembangan perusahaan.
Bagi kebanyakan orang, kebun binatang ini sudah satu perusahaan besar sendiri.
Setidaknya pembiayaannya. Orang utan pun dibuatkan rumah yang sangat khusus. Salah satu anak orang utan itu sangat manja: minta terus digendong petugas wanita di kandang itu. Saya mencoba menggendongnya juga. Tidak mau. Ups. Ternyata mau. Ia bukan anak orang utan yang penakut.
Baca Juga:Tiga Sektor, Bisa Putarkan Roda Perekonomian MasyarakatSumedang Akan Produksi Lampu Led Bebas Listrik
Datuk Low pun mengajak ke kelompok burung. Ia terus bicara soal binatang. Dan binatang.
Ia sudah tahu soal perusahaan. Tidak perlu bertanya. Ia tentu hafal labanya tahun lalu saja Rp 30 triliun. Berarti laba Bayan dua kali lipat dari laba Adaro atau KPC–padahal produksinya hanya sekitar separo dari Adaro. Pun KPC.
“Betapa efisien Bayan,” kata saya. Dalam hati saja. (dahlan iskan)