sumedangekspres- Kujang merupakan tergolong benda pusaka yang diyakini memiliki sejarah oleh warga Sumedang. Benda ini sering digunakan dalam kesenian dan budaya masyarakat daerah hingga saat ini. Bahkan lambang kujang juga masih digunakan oleh warga sumedang, Salah satunya dalam pembangunan Rencana pemerintah membangun Menara Kujang Sapasang di Objek Wisata Panenjoan, Desa Jemah, Kecamatan Jatigede, Kabuaten Sumedang, Jawa Barat. Sejarah Kujang, Benda Pusaka Asal Tanah Pasundan
Untuk pembangunan Menara Kujang Sapasang beserta berbagai fasilitas pendukungnya ini, Gubenur Jawa Barat, Ridwan Kamil, menggelontorkan bantuan gubernur (bangub) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provisi Jawa Barat senilai Rp 100 miliar.
Lalu apa sih sejarah Kujang. Simak pemaparanya berikut!
Mengutip dari Jurnal Itenas Rekarupa, Kujang di wilayah Pasundan merupakan sebuah senjata yang memiliki nilai sakral dan mistis. Senjata yang berkembang dan berevolusi di tanah Pasundan ini berfungsi sebagai medium mistik, simbol status, jimat, atau piandel.Di zaman Kerajaan Pajajaran atau sekitar tahun 1170, Kujang di desain oleh para Empu tersohor seperti Mpu Windu Sarpo, Mercukunda, dan Ramayadi. Selain sebagai pemenuhan kebutuhan ritual, Kujang juga melengkapi nilai-nilai budaya Sunda pada zaman itu. Sistem, tatanan, dan pemikiran saat itu menjadi dorongan untuk memperkaya wujud Kujang.
Baca Juga:Manfaat dan Kandungan Buah DurianMengenal Tumbuhan Kadadak, yang Tumbuh di Cagar Alam Sumedang
Pada masa yang sama, Kujang juga berfungsi sebagai simbol status dan pangkat, penghormatan pada pemimpin yang berjasa besar, serta nilai sebuah ajaran. Ajaran Sunda Wiwitan dan sistem ketatanegaraan juga membuat rupa Kujang berkembang sebagai wujud pemetaan pulau Jawa (Ku Jawa Hyang). Nama Kujang sendiri diyakini berasal dari Ku Jawa Hyang.
Seorang ahli okultisme dan guru besar metafisika asal Amerika, Alexander Lee mengonfirmasi sebuah catatan masyarakat Sunda di masa lampau yang menyatakan Prabu Kudo Lalean menemukan gambar visual tentang bumi yang diinjaknya sekarang, yaitu Pulau Jawa. Kemudian, Kudo Lalean meminta para ahli penerawang untuk mengkaji bentuk Pulau Jawa (Ku Jawa Hyang) tersebut. Mandat tersebut kemudian diserahkan pada Empu Windu Sarpo. Terawangannya kemudian menghasilkan bentuk pulau “Jawa Dwipa” atau Pulau Jawa.