Mereka ditangkap dan dijadikan tawanan perang setelah konflik bersenjata sekitar Maret 1946 di Bandung selatan. Yang Chil Sung dan puluhan rekannya diperlakukan dengan baik, bahkan Mayor Kosasih dan Letnan R Djoeana Sasmita melarang mereka melakukan seppuku (harakiri) atau bunuh diri demi menjaga kehormatannya.
Berkat perlakuan baik tersebut, Masharo Aoki muncul dan mengatakan bahwa ia dan pasukannya ingin bergabung dengan pasukan Kosasih. Lebih lanjut, ia menuntut agar pasukannya tidak didiskriminasi dan dilindungi dari tuntutan Sekutu.
Masharo Aoki dan pasukannya bahkan mengumumkan masuk Islam dan mengubah nama mereka menjadi nama asli mereka. Kemudian Yang Chil Sung mengganti namanya menjadi Komarudin. Yang Chil Sung kemudian menjadi tentara andalan yang memimpin Batalyon Putih dalam misi sabotase dan penyergapan.
Baca Juga:Profil dan Biodata Kim Bum Aktor Korea yang Akan Bintangi Film ‘Tanah Air Kedua’ Jadi Pasangan Maudy AyundaKim Bum dan Maudy Ayunda Dikabarkan Bintangi Film ‘Tanah Air Kedua’ dan Akan Jadi Pasangan Perankan Komarudin ‘Pahlawan Garut’ Asal Korea
Salah satu tindakan luar biasa yang mereka lakukan adalah dengan menghancurkan jembatan Wanaraja ke Garut pada tahun 1947 agar Belanda tidak bisa memasuki wilayah Wanaraja. Sejarawan Jepang Aiko Kurusawa yang mengajar di Universitas Indonesia (UI) dalam bukunya Sisi Gelap Perang Asia juga membahas kisah penangkapan Yang Chil Sung dan kawan-kawan.
Penangkapan terjadi saat Divisi Siliwangi pindah ke Yogyakarta atas persetujuan Renville. Aiko Kurusawa menunjukkan bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh istri seorang tentara Indonesia pengkhianat yang memberitahu Belanda di mana mereka berada dengan imbalan 1.000 gulden.
Setelah baku tembak yang menewaskan tiga tentara Jepang, Yang Chil Sung dan kaki tangannya ditangkap dan dieksekusi.