Berdasarkan hasil penelitian, implementasi model tersebut akan meningkatkan kemampuan calon guru, pada aspek penyajian dan pengelolaan inti pembelajaran (25%), aspek pra-pembelajaran (24.72%), aspek penilaian proses dan hasil belajar (24.16%), aspek mendemontrasikan keterampilan khusus (23.33%), dan aspek membuka pembelajaran (22,50%)(Suherman, 2014).
Namun, pada kenyataanya di lapangan, seringkali kedua hal tersebut tidak diimplementasikan sebagaimana mestinnya. Berdasarkan hasil pengamatan sejak tahun 2019, beberapa kasus yang terjadi antara lain, pertama, sering sekali terjadi pelaksanaan tahapan model tersebut tidak dilakukan secara sistematis.
Contohnya, setelah orientasi, calon guru langsung melaksanakan kegiatan pembelajaran mandiri tanpa ada supervisi baik dari guru pamong maupun DPL. Kedua, kurangnya keterbaharuan metode pembelajaran yang didemonstrasikan oleh guru pamong. Rata-rata guru pamong masih menggunakan pendekatan komando yang disebabkan masih tingginya paradigma lama bahwasannya PJOK adalah pendidikan untuk meningkatkan kemampuan fisik saja.
Baca Juga:Pemda Wacanakan Bangun Perpustakaan Senilai Rp 9,5 MMasalah Lahan Blok Rancabaren, Warga dan Pemdes Minta Ketegasan
Mengingat program PLSP PGSD Penjas ini memiliki posisi sentral sebagai tolok ukur untuk menentukan tingkat kompetensi, harus segera dilakukan transformasi supervisi calon guru SD. Akar dari permasalahan ketidaksesuaian model dengan implementasi adalah kurangnya koordinasi antar supervisor saat implementasi model dan kurangnya peran Dosen Pembibing Lapangan (DPL) di setiap tahapan model.
Perlu dilakukan peninjauan ulang tupoksi DPL, dimana peran DPL tidak lagi hanya terlihat saat tahap orientasi dan ujian, melainkan harus terlibat pada substansi kompetensi dari program PLSP PGSD Penjas, yakni tahap kegiatan pembelajaran terbimbing.
4. MetodePembelajaran PJOK SD
Komponen kurikulum terdiri dari tujuan, isi, metode, dan evaluasi. Pengembangan untuk setiap komponen harus berlandaskan pada landasan pengembangan kurikulum. Perubahan tujuan kurikulum, perkembangan isi kurikulum, harus diiringi dengan pengembangan dari komponen metode.
Pengembangan pada komponen metode harus berlandasakan pada landasan pengembangan psikologis dan teknologis. Perbedaan psikologis antar generasi (generation gap) mengharuskan pendidik menguasai variasi metode pembelajaran dan pemanfaatkan teknologi untuk mengoptimalkan implementasi metode tersebut.
Menurut Gagne (2005) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan seperangkat peristiwa eksternal yang diatur dan dirancang secara sengaja untuk mendukung proses belajar internal. Mengacu pada pendapat tersebut, kegiatan pembelajaran perlu mempertimbangkan sejumlah tahapan belajar yang harus dilewati agar mencapai tujuan pembelajaran. Tahapan secara umum pembagian pembelajaran yakni: