Indonesia sedang membangun investasi pertahanan secara sistematis untuk jangka panjang. Artinya belanja investasi pertahanan dilakukan sekaligus dalam jumlah besar alias borongan untuk masa manfaat 30 tahun ke depan. Sepintas anggaran untuk investasi benteng NKRI ini terlihat fantastis. Namun jika dilihat dari durasi manfaat teknis selama 30 tahun maka nilai investasi menjadi wajar dan biasa saja. Beli borongan, sekaligus utk 30 tahun masa manfaat dengan pembayaran hutang yang berdurasi sama. Artinya antara masa manfaat dengan cicilan pembayaran secara kredit tidak memberatkan. Apalagi dengan dukungan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia yang semakin membesar dan menguat.
Saat ini PDB kita ada di urutan 15 besar dunia. Jadi masuk anggota grup elite G20. Prediksi beberapa lembaga keuangan dunia memperkirakan PDB Indonesia tahun 2030 ada di urutan ke 10-11, dan tahun 2045 ada di urutan ke 5-6. Artinya ketika kita membeli alutsista secara besar-besaran selama tiga tahun ini (2022-2024) dengan durasi pembayaran diatas 10 tahun. Maka jika dikaitkan dengan peningkatan PDB yang berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi, maka DSR (Debt Service Ratio) atau rasio hutang kita terhadap PDB semakin menurun. Agak mirip-mirip dengan beli rumah melalui KPR. Setelah bayar uang muka rumah bisa ditempati dan cicilan pembayaran dengan durasi 10-15 tahun semakin lama semakin ringan. Beli alutsista juga begitu, tidak ada beli secara tunai. Setelah bayar uang muka barang diproduksi dan dikirim.
Investasi pertahanan sangat diperlukan karena asset alutsista yang ada sekarang sudah banyak yang berusia tua. Contoh KRI Ahmad Yani Class yang berjumlah 6 unit dibeli dari Belanda tahun delapan puluhan, beli bekas dari Belanda. Dan Belanda mempergunakan kapal perang frigate itu sejak tahun enam puluhan. Berarti usianya sudah masuk kategori lansia alias uzur. Investasi pertahanan sangat mendesak dilakukan karena ancaman terhadap kedaulatan teritori negeri kita sudah di depan mata. Sudah terang-terangan, bahkan sudah berani melarang di rumah orang. Maka meski kita cinta perdamaian kita lebih cinta kemerdekaan. Si vis pacem parabellum, jika ingin damai bersiaplah untuk perang. Semua itu harus dijawab dengan menguatkan marwah teritori agar kita tidak dianggap ikan teri oleh negeri yang haus klaim teritori. **