Upaya Pemerintah dalam Menangani Perkawinan Anak: Program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS)

Kasubdit Bina Keluarga Sakinah, Kementerian Agama, Agus Suryo Suripto
Kasubdit Bina Keluarga Sakinah, Kementerian Agama, Agus Suryo Suripto (istimewa/instagram)
0 Komentar

sumedangekspres – Pada tahun 2024 dan 2030, pemerintah menargetkan penurunan angka perkawinan anak sebesar 8,74 persen dan 6,94 persen, kata Agus Suryo Suripto, Kasubdit Bina Keluarga Sakinah Kementrian Agama (Kemenag).

Untuk mencapai tujuan tersebut, Kementerian Agama telah mengembangkan Program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS) yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada remaja tentang pendidikan keluarga.

Menurut Agus Suryo Suripto, perkawinan anak merupakan permasalahan serius yang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan anak.

Baca Juga:Mengenal Bendungan Cipanas: Tonggak Sejarah Pembangunan Infrastruktur di Desa Cibuluh, SumedangPotensi Keindahan Wisata Alam: 3 Gunung di Sumedang yang Ketinggiannya Tidak Lebih Dari 2000 MDPL

Dampak tersebut meliputi masalah tengkes (stunting), putus sekolah, dan kekerasan dalam rumah tangga. Program BRUS diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada remaja mengenai pentingnya menunda usia pernikahan dan menjaga kesehatan reproduksi.

Data perkawinan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah perkawinan anak di Indonesia meningkat hingga 1,2 juta kasus.

Dari jumlah tersebut, proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun adalah sebesar 11,21 persen dari total jumlah anak.

Ini berarti sekitar 1 dari 9 perempuan berusia antara 20 dan 24 tahun dinikahkan saat masih anak-anak. Angka tersebut berbeda dengan laki-laki, dimana 1 dari 100 laki-laki berusia 20-24 tahun menikah pada usia anak.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membantah anggapan pernikahan dini lebih baik dari perzinahan.

BKKBN meyakini langkah paling efektif dan strategis untuk menghindari pernikahan dini dan hubungan seks tanpa harapan adalah dengan melakukan pencegahan.

Hal ini memerlukan peran aktif seluruh lapisan masyarakat dalam mensosialisasikan risiko-risiko yang mungkin timbul akibat pernikahan dini.

Baca Juga:Memelihara Sejarah: Benteng Palasari Sumedang, Peninggalan Bersejarah di Jawa BaratRidwan Kamil Pimpin Kampanye Prabowo-Gibran di Jabar: Langkah Strategis Menuju Pilpres 2024

Pencegahan pernikahan dini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun juga memegang peranan penting di seluruh lapisan masyarakat.

Edukasi dan pemahaman yang diberikan melalui program BRUS diharapkan dapat menjadi salah satu kunci dalam mengubah persepsi dan perilaku remaja mengenai pernikahan dini.

Dengan kerja sama yang kuat antara pemerintah, lembaga, dan masyarakat diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak Indonesia tanpa membebani mereka dengan pernikahan dini.

0 Komentar