Menurutnya, walaupun seorang Penyelenggara Pemilu memiliki pengalaman dalam penyelenggaraan Pemilu, namun dalam konteks penyelenggaraan Pilkada terkadang terdapat beberapa perbedaan mendasar terutama dalam hal konstelasi politik.
“Dalam konteks Pilkada terdapat beberapa kesenjangan yang kerap terjadi antara das sollen dengan das sein.
“Diantaranya: Pertama, pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan dukungan dana dan fasilitasi yang minim, adapun pendanaan penyelenggaraan Pilkada bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dapat didukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),” katanya.
Baca Juga:Puskesmas Sukagalih Siagakan PosKes pada Mudik LebaranErwan Siap Nyabup: Terimakasih Dukungannya
“Kedua, partisipasi publik yang minim dalam hal pengawasan dan rekrutmen badan adhoc Pilkada dan calon kepala daerah peserta Pilkada yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan, maka diperlukan sosialisasi intensif dalam ikhtiar peningkatan partisipasi publik,” imbuhnya.
Ketiga, lanjut dia, penyelenggara Pilkada belum memiliki pengalaman. Kemudian, Keempat, psikologi calon kepala daerah peserta Pilkada yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan dan pendukung yang tidak siap kalah. Kelima, institusi terkait tidak independen dan tidak netral. Keenam, menimbulkan sengketa hukum. Ketujuh, gesekan konflik lokal. (bim)