SUMEDANGEKSPRES – Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, yang mengusulkan agar pemilihan kepala daerah kembali dilakukan melalui DPRD di HUT Golkar ke 61 (5/12). Pernyataan Bahlil tersebut juga dipertimbangkan oleh Presiden Prabowo agar demokrasi minimal ongkos dan tidak ditentukan oleh orang-orang yang berduit.
Pakar politik, Arifki Chaniago, menilai usulan tersebut merupakan langkah mundur dari capaian demokrasi elektoral Indonesia. Pilkada langsung memang tidak sempurna. Tetapi mengembalikannya ke DPRD bukan jawaban. Itu hanya memindahkan persoalan dari ruang publik ke ruang elite, dan publik akan membacanya sebagai pengurangan hak memilih.
Ia menjelaskan bahwa narasi “efisiensi pemilu” sering dipakai dalam diskusi elite, tetapi hampir tidak pernah menjadi keluhan utama rakyat di daerah. Yang justru dikeluhkan adalah buruknya tata kelola kampanye, lemahnya penegakan hukum pemilu, hingga minimnya edukasi politik.
Baca Juga:Kebakaran Kandang Ayam di Sumedang, 9 Ribu Broiler Hangus TerpanggangSekjen MPR RI Ziarah ke Makam Cut Nyak Dien di Sumedang
“Kalau vas bunga jatuh karena raknya goyang, yang harus diperbaiki itu raknya, bukan menyembunyikan bunganya ke gudang. Demokrasi kita bermasalah bukan karena rakyat memilih langsung, tetapi karena infrastruktur politiknya tidak diperkuat, ” jelasnya kepada Sumeks, Senin (8/12).
Menurutnya, usulan kembali ke DPRD membuka pintu lebar untuk politik transaksional. Mekanisme pemilihan oleh segelintir anggota DPRD membuat akuntabilitas kepala daerah tidak lagi diarahkan kepada rakyat, tapi kepada elite yang memilih.
“Risikonya sederhana: kepala daerah lebih sibuk menjaga suara di ruang tertutup ketimbang bekerja untuk suara publik. Kita pernah hidup dalam model itu dan tidak ada nostalgia yang perlu dirayakan, ” ungkap Arifki.
Dari sisi komunikasi politik, wacana ini juga dinilai tidak peka terhadap suasana publik. Di tengah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai dan lembaga legislatif, menawarkan pengalihan kewenangan pemilihan kepala daerah ke DPRD justru memperburuk jarak antara elite dan warga.
“Ini semacam pesan yang tidak sinkron: ketika publik menuntut transparansi dan partisipasi yang lebih besar, justru muncul wacana yang mengembalikan proses politik ke ruangan tertutup. Secara persepsi, ini langkah yang sangat kontra dengan arus publik, ” jelas Arifki.
Ia menambahkan bahwa wacana ini tampak lebih sebagai manuver politik ketimbang kajian serius. Karena dengan Pilkada lewat DPRD kita tak lagi mengenal figur seperti Jokowi, Anies, Sandi, Ahok, Risma, dan lainnya. Pernyataan ini, tentu akan berdampak terhadap dinamika UU Pemilu dan kalkulasi parpol melihat potensi pemilu 2029.
