sumedangekspres – Media sosial, yang pernah digembar-gemborkan sebagai kekuatan untuk kebebasan dan demokrasi, harus meningkatkan pengawasan untuk perannya dalam memperkuat disinformasi, menghasut kekerasan, dan penurunantingkat kepercayaan pada media dan demokratis institusi termasuk penyebaran buzzer.
Menurut penelitian yang dilakukan Oxford oleh Philip N. Howard dan Samantha Bradshaw The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan buzzer. Pasukan Buzzer ini tersebar pada lima aplikasi twitter, facebook, instagram, youtube, whatsapp. Indonesia dalam penggunaan buzzer menggunakan fake account yang dijalankan oleh dua jenis yaitu bot dan manusia.
Indonesia termasuk kedalam kapasitas pasukan siber yang rendah yang melibatkan tim kecil biasnya aktif selama pemilihan atau jajak pendapat kemudian akan berhenti aktivitasnya sampai siklus pemilihan berikutnya. Tim berkapasitas rendah cenderung hanya bereksperimen dengan beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri. Adapun besaran uang yang bisa diterima oleh buzzer di Indonesia sudah tercatat berkisar antara Rp1-50 juta.
Baca Juga:Daya Tarik Destinasi Wisata Kebun Raya Cibodas!Presiden Jokowi Beri Sumedang Apesiasi Pada Rakornas Kepala Daerah dan FKPD se-Indonesia
Dan dikabarkan dari Indonesia Corruption Watch atau ICW yang melaporkan pemerintah pusat telah mengeluarkan anggaran belanja untuk influencer mencapai Rp90,45 miliar. Anggaran untuk para influencer ini dibayar untuk melakukan sosialisasi program-program pemerintah.
Dilansir dari Indonesia Corruption Watch untuk contoh penggunaan influencer seperti Ardhito Pramono dan Goffar Hilman yang mempromosikan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) lewat tagar #IndonesiaButuhKerja. Keduanya akhirnya meminta maaf setelah mempromosikan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang banyak ditolak oleh masyarakat, lewat akun media sosialnya.
Dilihat dari perkembangan penggunaan sosial media, internet dan influencer dalam kontestasi kebijakan publik, dan melihat adanya alokasi anggaran negara yang semakin besar untuk sosialisasi di dunia maya.