Gembrong Liwet: Kastrol Tua yang Menjaga Persaudaraan Citali

Gembrong Liwet: Kastrol Tua yang Menjaga Persaudaraan Citali
Seorang warga mengenakan busana tradisi Sunda membawa tumpeng liwet lengkap dengan lauk pauknya saat perayaan Gembrong Liwet di Desa Citali, Kecamatan Pamulihan, baru-baru ini.(Dok. Sumeks)
0 Komentar

SUMEDANGEKSPRES – Di kaki perbukitan Pamulihan, ketika fajar Ramadhan mulai menebar isyaratnya, warga Desa Citali kembali menurunkan sebuah kastrol tua yang selama puluhan tahun menjadi penjaga cerita. Dari dalamnya, bukan hanya nasi liwet yang dimasak, tetapi juga sejarah, kebersamaan, dan warisan leluhur yang terus hidup melampaui zaman.

DI Desa Citali, Kecamatan Pamulihan, Sumedang, tradisi bukan sekadar warisan; ia adalah napas hidup yang mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setiap menjelang Ramadhan, desa yang dikelilingi hawa sejuk perbukitan ini kembali bergeliat oleh sebuah ritual tua yang terus dijaga: Gembrong Liwet.

Tak ada catatan tertulis yang menandai kapan Gembrong Liwet pertama kali digelar di Citali. Yang ada hanya cerita-cerita lisan para sesepuh yang menyebut tradisi ini sudah berlangsung sejak masa kakek-buyut mereka.

Baca Juga:Longsor Terjang Dua Titik di Pamulihan, Warga Haurngombong Diimbau Waspada Kawasan RawanStreaming Film Semi Colin (2012) Subtitle Indonesia Kesukaanmu

Dahulu, Gembrong Liwet muncul sebagai wujud syukur masyarakat agraris atas hasil bumi, terutama padi, sekaligus sebagai cara mempererat hubungan antartetangga selepas masa panen.

“Ini tradisi tahunan menjelang Ramadhan, sudah turun temurun,” tutur Wawan Aldo Supriatna, pendiri Pusat Konservasi Seni Budaya Wahana Satia Sunda Sumedang, yang kini menjadi salah satu penjaga napas tradisi.

Menurut para tetua desa, Gembrong Liwet dulunya selalu dilakukan di pinggiran sawah atau di halaman rumah besar milik tokoh adat. Saat itu, kegiatan menanak nasi bersama menjadi simbol bahwa hasil panen bukan hanya milik satu keluarga, tetapi keberkahan yang harus dibagi.

Hingga kini, inti dari Gembrong Liwet masih dipertahankan. Dimulai dengan prosesi turun kastrol menurunkan alat menanak nasi berukuran besar yang biasanya disimpan khusus dalam satu tempat tersendiri.

Prosesi ini bukan sekadar kegiatan teknis. Ia menjadi simbol pembuka, pertanda seluruh warga siap kembali menyatu dalam satu lingkaran kebersamaan.

Begitu kastrol diturunkan, warga mulai menyiapkan tungku kayu, bumbu, dan beras terbaik hasil panen mereka. Dulu, semua bahan dikumpulkan dari hasil iuran warga atau swadaya tiap keluarga. Kini, meski sebagian sudah lebih terorganisir oleh panitia, semangat gotong royong itu masih terasa kuat.

0 Komentar