Setiap tahun, ketika matahari kembali ke titik yang sama dan musim panen usai, sebuah kampung adat di Tatar Sunda kembali meneguhkan jati dirinya melalui ritual kuno bernama: Ngaruwat Jagat. Upacara selamatan yang jejaknya dipercaya telah berjalan sejak masa kerajaan, diwariskan dari leluhur untuk menjaga harmoni manusia, alam, dan dunia tak kasatmata.
REDAKSI, Sumedang Ekspres
DI sebuah kampung adat di Tatar Sunda, setiap tahun masyarakat berkumpul, menata sesaji, dan melantunkan doa-doa kuno yang diwariskan turun-temurun. Tradisi itu dikenal sebagai Ngaruwat Jagat, sebuah ritual selamatan kampung yang telah hidup lebih lama daripada usia generasi yang kini menjaganya.
Di balik peralatan sederhana seperti duwegan, kihanjuang, pisang badot, hingga seekor kambing untuk kurban, tersimpan sejarah panjang tentang cara masyarakat Sunda memaknai alam, kehidupan, dan hubungan mereka dengan kekuatan adikodrati.
Baca Juga:Ada yang Spesial di Malam Tahun Baru Bandung, Cakra Khan Siapkan IniHibriditas Budaya Bantengan Mberot di Malang
Seperti dilansir dari berbagai sumber, Ngaruwat Jagat dipercaya berakar dari tradisi agraris masyarakat Sunda kuna. Pada masa kerajaan seperti Kerajaan Sunda dan Galuh. Ritual serupa dilakukan untuk memohon keselamatan wilayah kerajaan, agar ladang-ladang subur, air tidak surut, dan penduduk terhindar dari pagebluk.
Ketika masa kerajaan meredup, tradisi itu tidak hilang. Ia berpindah ke kampung-kampung adat dan menjadi bagian dari kalender ritual tahunan. Dalam perkembangannya, Ngaruwat Jagat kemudian sering disandingkan dengan Seren Taun atau Buku Taun, yang sama-sama menjadi momentum syukur atas satu tahun kehidupan dan panen.
Bagi masyarakat adat, keberlangsungan kampung bukan hanya urusan manusia. Alam, leluhur, dan penjaga tak kasatmata dipercaya memiliki perannya masing-masing. Karena itu, kampung perlu “diruwat” dibersihkan secara spiritual agar harmoninya tetap terjaga.
Upacara Ngaruwat Jagat tidak hanya menjadi perayaan tahunan; ia adalah panggilan bagi seluruh warga untuk kembali pada nilai-nilai asal.
Pada pagi hari, tetua adat memimpin persiapan sesaji. Setiap benda yang digunakan bukan sekadar keperluan ritual, tetapi simbol kehidupan yang mengandung ajaran moral dan filosofi.
Kelapa muda atau duwegan menjadi perlambang air paling suci. Air bening di dalamnya dianggap sebagai cermin kejernihan pikiran manusia.
