sumedangekspres – Dalam beberapa tahun terakhir, politik dinasti telah menjadi topik yang hangat dibicarakan di Indonesia.
Puncak dari perbincangan ini adalah ketika Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengumumkan niatnya untuk maju sebagai calon wakil presiden dalam Pemilihan Presiden 2024.
Hal ini telah memicu debat tentang etika politik, apakah politik dinasti memiliki tempat dalam budaya demokrasi yang seharusnya mendorong inklusi dan perwakilan rakyat.
Baca Juga:Elektabilitas Peserta Pilpres 2024: Prabowo-Gibran Menarik Perhatian, Tapi Juga Kontroversi6 Pasangan Lauk yang Cocok untuk Sayur Sop
Kritik terhadap politik dinasti mengemuka dengan kuat, terutama karena politik dinasti seringkali dianggap memiliki akar yang dalam dalam sistem feodalisme.
Namun, hal yang lebih mencolok adalah fakta bahwa Gibran dapat maju dalam pemilihan presiden melalui putusan kontroversial dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada akhir Oktober hingga awal November 2023, survei Indikator Politik Indonesia mengungkapkan bahwa mayoritas publik (52,6 persen) cenderung melihat politik dinasti tidak menghambat demokrasi, selama pemilihan berlangsung secara langsung oleh rakyat.
Ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi terhadap politik dinasti telah meningkat.
Bahkan, beberapa elite politik dan bahkan orang nomor satu di Indonesia tampaknya mendukung pandangan mayoritas masyarakat ini.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri tampaknya yakin bahwa masyarakat Indonesia tidak akan banyak mempersoalkan politik dinasti.
Dia mengatakan bahwa penilaian tentang masalah ini harus diserahkan kepada rakyat, karena dalam demokrasi, keputusan akhir selalu terletak pada rakyat yang memilih dalam berbagai pemilihan, termasuk pemilihan presiden.
Namun, peneliti Firman Noor dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) mengemukakan pandangan berbeda.
Baca Juga:Celana Pink Cocok dengan Baju Warna Apa? Yuk Intip!Tinggi Saaih Halilintar Berapa? Yuk Intip Biodata Lengkapnya!
Dia menyatakan bahwa pandangan Jokowi yang memandang demokrasi sebagai pemilihan langsung oleh rakyat adalah terlalu sederhana.
Firman menggambarkan pandangan Jokowi sebagai menyamakan rakyat dengan pelanggan restoran, di mana pelanggan hanya bisa memilih dari menu yang sudah ada.
Dalam konteks demokrasi, partisipasi rakyat harus lebih luas, mencakup tahapan dalam proses pembuatan kebijakan dan pemilihan kandidat.
Menurut Firman, ada tiga prasyarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menganggap pencalonan seorang calon presiden atau wakil presiden sebagai demokratis:
1. Supremasi Hukum
Proses pencalonan capres-cawapres harus tunduk pada hukum, dan tidak boleh melanggar atau mengakali hukum yang berlaku.