Stasiun Tanjoengsari Berubah Jadi Gedung Juang 45

Stasiun Tanjoengsari Berubah Jadi Gedung Juang 45
Stasiun Tanjoengsari masih ada hingga saat ini namun dialihfungsikan menjadi Gedung Joeang 45. (KEGGA KEGGYAN/SUMEKS)
0 Komentar

TANJUNGSARI – Papan bertuliskan TANDJOENGSARI 885 tampak samar di  tembok  bangunan di Jalan Staat Spoors, Kecamatan Tanjungsari. Bangunan itu kini difungsikan sebagai Gedung Juang 45 Tanjungsari.

Gedung Juang 45 Tanjungsari merupakan bekas stasiun kereta api pada masa pendudukan Belanda di akhir abad 19. Bangunan itu terletak tidak jauh dari Alun-alun Tanjungsari di ketinggian +855 meter.

Stasiun Tanjungsari, dulunya merupakan bagian dari proyek jalur perlintasan kereta api Belanda yang menghubungkan wilayah Rancaekek, Jatinangor, Tanjungsari, Citali hingga ke Sumedang.

Baca Juga:Program Kampus Mengajar Angkatan 1 Sekolah Dasar Negeri Mukti Jaya 03Jalan Rusak, Warga Minta Perbaikan

“Iya kalau kata orang tua sih, Gedung Juang 45, katanya bekas stasiun kereta api,” ungkap Doni, warga setempat jalan Staat Spoors, atau lebih dikenal Jalan SS.

Doni, menceritakan kereta yang melintas ke Tanjungsari dulu diperuntukan untuk membawa hasil bumi dari wilayah Tanjungsari, Jatinangor menuju Rancaekek, seperti di ketahui Jatinangor dulunya merupakan area hijau dengan bukti peninggalan Menara Loji, menara pengingat waktu para pekerja perkebunan

“Konon kereta itu buat mengangkut hasil perkebunan, Jatinangor sampai Tanjungsari,” jelas Doni

Disebutkan Dalam buku Indische Spoorweg Politiek atau Politik Perkeretaapian Hindia (S.A Reitsma,1925), bahwa jalur Rancaekek, Jatinangor, Tanjungsari, Citali hingga ke Sumedang merupakan jalur yang dibangun untuk memperkuat pertahanan Belanda di pulau Jawa.

Pada tahun 1917/1918, jalur Rancaekek hingga Jatinangor sudah dioperasikan. Sementara untuk jalur Jatinangor hingga Citali hampir selesai pengerjaannya.

Jalur kereta api yang direncanakan sampai hingga Sumedang nyata mengalami kendala, jalur dari Citali ke Sumedang memiliki medan yang cukup menantang seperti banyaknya jurang dan pegunungan. Ditambah lagi, Pemerintah Hindia Belanda kala itu sedang mengalami krisis keuangan.

Dalam membangun jalur Citali-Sumedang, sedikitnya diperlukan anggaran sebesar 4,5 juta gulden. Anggaran itu, belum termasuk anggaran persiapannya sebesar  500 ribu gulden.

Baca Juga:Dewan Minta Pemkab Atasi Tagihan Kontraktor, Lahan Relokasi OTD Jatigede Menjadi PolemikCireki Kembali Amblas, Macet Hingga 2 Kilometer, Jalan Nasional Bandung-Cirebon Tersendat

Jika jalur Sumedang selesai dibangun maka akan dilanjutkan untuk pembukaan jalur Sumedang-Kadipaten, Majalengka. Lalu, jalur penghubung antara Bandung dan Cirebon.

Jalur Citali hingga Sumedang batal dibangun lantaran faktor keuangan, juga akibat keburu masuknya era penjajahan Jepang di Indonesia. Jalur kereta api tersebut akhirnya di non aktifkan sekitar tahun 1942 dan rel nya di bawa oleh penjajah Jepang untuk membuat jalur Kereta Api Saketi-Bayah yang ada di provinsi Banten, karena Penjajah Jepang menganggap Sumedang tidak terlalu penting.

0 Komentar