Edukasi Obat Masih Minim, Dosis Keras Dijual Bebas

Edukasi Obat Masih Minim, Dosis Keras Dijual Bebas
Apoteker sedang melayani konsultasi obat dengan pembeli di Apotek Pendidikan Universitas Padjadjaran, Bandung (ist)
0 Komentar

sumedang, JATINANGOR – Munculnya kasus kematian anak-anak di Gambia yang diduga akibat reaksi kandungan dietilen glikol dan etilen glikol dalam obat parasetamol menyadarkan berbagai pihak. Terutama, masyarakat untuk cermat dalam memilih dan mengonsumsi obat.

Dalam hal ini, apoteker berperan penting untuk mengedukasi masyarakat.

“Di Indonesia edukasi tentang obat masih kurang. Apoteker harusnya berperan di sini,” kata Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran Prof apt Muchtaridi, PhD.

Ia mencontohkan, di beberapa wilayah, masih ditemukan masyarakat yang menggunakan obat untuk penggunaan yang bukan semestinya. Bahkan, ada yang menggunakan obat-obatan yang khusus untuk manusia, tetapi diberikan kepada hewan.

Baca Juga:Saluran Irigasi Belum MaksimalSekeluarga Terserempet Truk, Satu Orang Meninggal Dunia

Contoh lainnya, masyarakat Indonesia juga masih banyak yang belum memahami mengenai warna tanda dalam kemasan obat. Padahal, tanda ini menjelaskan mengenai golongan obat, kegunaan, serta cara penggunaannya.

“Misalnya, masyarakat menganggap warna hijau itu dia obat bebas. Jadi bisa dikonsumsi dengan bebas, padahal kan bisa bahaya. Itu edukasinya yang kurang,” jelasnya.

Kondisi lain yang menjadi tantangan penguatan apoteker di Indonesia adalah penjualan obat-obatan yang bebas. Padahal, ada golongan obat yang harus menggunakan resep dokter.

Prof. Muchtaridi mencontohkan, di negara luar, pembelian obat-obat tertentu wajib dengan resep dokter. “Contohnya, asam mefenamat, di Malaysia itu harus dengan resep dokter. Di kita bebas beli tanpa resep, bahkan dijual bebas di marketplace,” ujarnya.

Karena itu, apoteker memiliki peran dalam melakukan edukasi serta menyarankan obat yang tepat. Apoteker punya wewenang memutuskan apakah obat tersebut layak diberikan kepada pasien atau tidak.

Selain itu, kata dia, kurikulum pendidikan farmasi maupun apoteker juga perlu diperkuat. Salah satu yang perlu diperkuat adalah mengenai materi stabilitas obat.

Prof. Muchtaridi mengatakan, kasus dietilen glikol dan etilen glikol dalam obat parasetamol di Gambia merupakan bukti bahwa stabilitas suatu obat jangan diabaikan karena akan menghasilkan dampak bagi penggunanya.

Baca Juga:Dari Packing Kemasan Hingga Industri Rotan Mesti Bersaing GlobalKorsleting Listrik, Satu Rumah Terbakar

“Misalnya, ketika aspirin terkena air atau lembap, itu jangan dimakan karena akan terpecah menjadi asam atetat dan menjadi racun kalau dimakan. Masyarakat tidak paham, yang paham apoteker. Kebangetan kalau apoteker sebagai yang bikin obat dia tidak paham itu,” pungkasnya. (**)

0 Komentar